Dengan naik taksi aku menuju ke Club Deluxe, seorang GM telah menunggu di depan lobby saat taxiku berhenti. “Cepat mereka udah lama menunggu” sapanya sambil menggandengku menuju salah satu ruangan VIP. Ada 5 orang berada di dalam, anehnya tidak ada seorangpu Purel yang menemani mereka. “Ini dia bidadari kita” celetuk salah seorang dari mereka saat melihatku memasuki ruangan “Wow sayang sekali aku tak bisa ikutan” sahut lainnya “Aku setuju” teriak lainnya tanpa aku tahu apa maksudnya “Setujuu” yang lain mengekor seperti suara di gedung DPR. “Oke semua telah setuju jadi kamu bisa tinggal dan temani mereka” kata
si GM, aku masih tak tahu maksudnya, jadi kuturuti saja seperti kerbau
dicocok hidungnya. Satu persatu aku diperkenalkan, tentu saja tak semua nama bisa
kuingat satu persatu tapi untuk saat ini apalah arti sebuah nama, toh
aku belum tahu apa maunya mereka. GM itu hanya memberitahu bahwa aku
di-booking selama 3 malam, mulai kamis-Sabtu, hanya malam sampai pagi
ditambah Minggu siang-sore, akan ada permainan, hanya itulah pesannya,
justru itu yang membuat aku penasaran. Mereka saling berceloteh, saling
mengolok temannya.
Beberapa lagu telah mereka lantunkan dengan suara yang tak terlalu
sedap didengar telinga, satu demi satu mereka mengajakku dance,
bergiliran kulayani mereka melantai diiringi lagu slow yang tak karuan
iramanya. Bisa ditebak bagaimana mereka melantai denganku, semua hampir
sama kelakuannya, memelukku erat sehingga buah dadaku menempel di
tubuhnya, mencium pipi dan leherku, meremas pantatku dan sebagainya,
semua kulayani dengan senyuman manja karena aku masih tidak tahu siapa
yang akan meniduri dan menikmati tubuhku kelak, jadi semua kuperlakukan
sama. Malam semakin larut, masih juga belum ada
tanda tanda acara ini berakhir dan aku belum mendapat kepastian siapa
yang harus tidur denganku malam ini diantara mereka. Akhirnya Pak Ade
yang paling muda memberitahu aturan permainannya, mereka adalah anggota
klub golf dari Jakarta yang besok ada turnamen di Finna, Bukit Darmo
Golf dan Ciputra. Dari keempat orang yang ada di ruangan ini, siapa yang
mendapat score best net di hari itu berhak mendapat piala bergilir
semalam, yaitu aku, begitu juga di hari selanjutnya sampai hari minggu. “Nggak ada masalah kan?” tanya Pak Ade menutup penjelasannya.
Aku diam terkejut tak tahu bagaimana harus bersikap, seharusnya si GM itu memberitahu permainan ini terlebih dahulu, apalagi melibatkan banyak orang seperti ini. Kalau aku menolak tentu akan mengecewakan banyak orang, kalau aku terima, sebenarnya tidak ada masalah cuma agak tersinggung dengan si GM karena mengaturku seenak kemauannya sendiri. “Kalau kamu keberatan ya nggak apa apa, kita cari yang lain, nggak masalah kok” lanjut Pak Ade melihat diamku. “Eh enggak, nggak apa kok, aku sih oke oke saja” jawabku “OK gentlemen, kita akhiri acara ini karena besok tee off jam 6.30 pagi, jadi tidak ada alasan kurang tidur kalau kalah” kata Pak Ade pada rekan rekannya “Dan Lily menjadi milik sang juara besok malam hingga pagi, terserah mau diapain” lanjutnya dan dijawab “setujuu” serentak seraya berdiri dan meninggalkan kamar VIP itu. Pukul 11 kami semua meninggalkan Club Deluxe, meskipun malam ini tak ada yang kulayani tapi argo sudah jalan, itulah kesepakatannya. “Besok jam 7 malam kamu sudah siap di Hotel Mercure (sekarang Sommerset kalau nggak salah)” pesan si GM sebelum taxiku berangkat mengantarku pulang.
Keesokan harinya berjalan seperti biasa, aku tak terlalu memikirkan
siapa yang akan meniduriku malam ini, toh percuma saja berharap karena
bagiku mereka seperti tamuku lainnya. Siangnya aku masih menerima tamu, bahkan dua, beruntunglah tamuku
yang kedua tinggal di Hotel Mercure, jadi dari pada mondar mandir, dia
kuberi “bonus” free extra time sambil menunggu jam 7 malam, tentu saja
dia tidak keberatan mendapat bonus itu meskipun tidak tahu alasannya,
Paling tidak bisa mendapatkan satu babak tambahan setelah 2 babak kami
bercinta. Jam 18:40 kutinggalkan tamuku menuju lobby, aku tak berani menunggu
di lobby, disamping memang bukan kebiasaanku juga karena khawatir
ketahuan tamu terakhirku tadi, maka kutunggu panggilan mereka di mobil.
Belum habis Marlboro putihku, si GM menelpon dan memintaku langsung
memintaku bergabung dengan mereka di restoran hotel itu, begitu tahu aku
udah berada di tempat parkir. Ternyata mereka sudah lengkap
mengelilingi makanan yang sudah terhidang di atas meja.
Suara celotehan
terdengar saat aku bergabung dengan mereka. Untunglah tak banyak tamu di
restoran itu, jadi aku tak perlu terlalu khawatir dikenali orang yang
pernah mem-bookingku, hanya tamuku terakhir tadi yang kukhawatirkan. Selama makan, pembicaraan mereka hanyalah seputar permainan golf tadi
siang, banyak istilah yang tak kumengerti, seperti birdie, par, boogy,
green, rough, best net, gross, handycap dan istilah lain yang sama
sekali asing bagiku. Hingga selesai makan aku masih tidak tahu siapa yang akan meniduriku
pertama kali, tapi aku tak peduli siapapun yang akan tidur denganku
karena aku tidak dalam posisi untuk memilih. Kucoba menerka siapa laki
laki yang “beruntung” itu, tapi terlalu sulit karena antara pemenang dan
pecundang semua berwajah ceria, tak ada kesedihan tampak di raut muka
mereka. Akhirnya Pak Bambang berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. “Sorry guys, aku permisi dulu, I have many thing to do” katanya sambil
menggandeng tanganku meninggalkan rekan rekannya diiringi celoteh
godaan, ternyata dialah pemenang di hari pertama.
Bergandengan tangan kami menuju kamar Pak Bambang, dia bukan yang paling tua diantara rekan rekannya tadi tapi termasuk yang di-tua-kan karena usianya memang diatas 50-an, kutaksir sekitar 55 tahun, hampir 2 kali usiaku. Tak ada yang istimewa pada diri Pak Bambang, kulitnya yang kehitaman karena terbakar matahari akibat sering main golf, kumisnya yang tebal dengan beberapa uban menghiasi kepalanya. Sesampai di kamar tanpa banyak basa basi dia langsung mendekapku dari belakang dan menciumi tengkukku. Aku menggeliat geli, tangannya sudah berada di dada dengan remasan remasan nakal. “Bapak nakal deh, sini aku lepasin .” Belum selesai aku bicara dia langsung menutup mulutku dengan bibirnya dan melumat habis, lidahnya berusaha menembus rongga mulutku, segera kusambut pula dengan lidahku. Kami berciuman sambil saling melucuti pakaian hingga telanjang habis, seperti sudah tidak sabar untuk segera menikmati tubuhku. “Sejak kemarin aku sudah ingin melakukan ini” katanya sambil merebahkanku ke ranjang “Kenapa nggak bilang dari kemarin, kan aku bisa menyelinap kemari” jawabku sambil tersengal mendapat kuluman darinya “Nggak boleh, itu sudah aturan, bisa bisa aku dipecat kalo ketahuan” lanjutnya terus mendaratkan bibirnya di putingku.
Tubuhnya yang agak gendut menindihku sambil menciumi seluruh tubuhku
sejauh dia bisa menjangkau dengan bibirnya. Terasa agak berat aku
menahan tubuhnya dan semakin berat saat dadanya menggenjet dadaku, sesak
napas dibuatnya. Tapi rupanya dia salah menterjemahkan sengalan
napasku, dikira aku sudah benar benar terangsang oleh foreplaynya
padahal pemanasannya jauh dari cukup bagiku untuk terangsang. “Gimana? Udah nggak tahan? Kita masukin aja ya” bisiknya lembut sok gentleman.
Aku hanya tersenyum, kubuka kakiku lebar saat dia mulai mengusapkan
kejantanannya di liang vaginaku, agak susah, mungkin karena vaginaku
belum basah. “Sini aku basahin dulu” kataku sambil memberi isyarat supaya dia
bergeser ke arah kepalaku dan bisa kukulum penisnya, segera tubuhnya
mengangkang di atas, kusambut dengan jilatan dan kuluman pada
kejantanannya. Beberapa saat aku mengulumnya, kemudian berganti ke posisi 69, saling
menjilat dan mengulum, membuat vaginaku basah dengan cepat. Sudah
menjadi kodratku, sebenci dan semuak apapun aku sama seseorang tapi
kalau dia berhasil menjilati vaginaku, apalagi ternyata begitu pintar,
maka dengan sedikit berimajinasi pastilah cairan kewanitaanku keluar
dengan sendirinya.
Perlahan lahan Pak Bambang mendorong kejantanannya memasuki liang
kenikmatanku, penis ketiga di hari itu yang menikmati hangatnya surga
dunia milikku. Dia menatapku tajam dengan sorot mata penuh nafsu seakan
ingin menelanku bulat bulat, senyumnya menyeringai bak srigala lapar
menatap korban yang sudah tidak berdaya dalam cengkeramannya. Dia
menelungkupkan tubuhnya di atasku, memelukku rapat sambil menciumi leher
dan bibirku seiring dengan mulainya gerakan mengocok penisnya. Kocokan
pelan dan dalam membuat bulu kudukku merinding karena geli bercampur
nikmat, aku sendiri heran tak pernah merinding begini saat melayani
tamu, irama permainan apapun kulayani baik romantis, pelan maupun keras
menjurus liar sejauh tidak menyakiti secara fisik, kalau secara mental
sih sudah terlatih untuk menerimanya segala jenis “penghinaan dan
perendahan martabat” sejauh berhubungan dengan pekerjaanku, dan bukan
tentang pribadiku. Desahan Pak Bambang mengiringi desahan kenikmatanku, hembusan
napasnya yang tersengal mengenai wajahku saat kocokannya mulai berubah
cepat, pantatnya turun naik menekan kuat, klitorisku serasa tergesek
benda keras kejantanannya. Sodokan demi sodokan begitu dia nikmati,
sebentar saja keringat sudah membasahi wajahnya, kuusap lembut dengan
tanganku, seperti mengusap wajah Papaku yang sedang berkeringat,
beberapa sempat menetes di wajahku. Kudorong tubuhnya menjauh karena
terasa semakin berat menindihku, membuat napasku ikutan tersengal, tapi
justru dia mencabut penisnya dan telentang disampingku, menarikku ke
pelukannya.
Mungkin karena lelah menahan berat badannya sendiri, karena
staminanya sudah tak muda lagi, padahal permainan belum 5 menit tapi
terasa begitu lama. Kini posisiku di atas, kucium bibirnya sembari
menuntun penisnya kembali memasuki vaginaku, kembali aku dalam
dekapannya saat kocokannya menghunjam tajam, kuatur posisi pantatku
hingga kejantanannya menggeser klitoris, dengan posisi begini akulah
yang pegang kendali. Kulawan dengan goyangan pantat setiap kali penisnya
meluncur masuk, aku melepaskan diri dari dekapannya, dengan begini
lebih bebas bergerak melakukan improvisasi demi kenikmatan tamu dan
sedikit bagiku. Tubuhku mulai turun naik di atasnya, tangan Pak Bambang meremas remas
buah dadaku penuh nafsu diiringi desahan kenikmatan kami berdua.
Kurobah gerakanku, dari turun naik menjadi berputar di atas penisnya,
sesaat kulihat Pak Bambang merem melek menikmati perubahan gerakanku,
tangannya makin keras mencengkeram buah dadaku, vaginaku sendiri terasa
diaduk aduk penisnya yang tidak terlalu besar, rata rata, tapi sekeras
batu. Kupermainkan dengan otot otot vagina yang memeras kejantanannya,
dia makin melayang tinggi dan makin cepat mencapai klimaks. Tubuhku
ditarik kembali dalam dekapannya tapi aku menolak, aku ingin menikmati
wajah wajah tua dalam kenikmatan sexual tertinggi yang tidak mungkin
bisa dia dapatkan setiap saat apalagi di rumah.
Beberapa detik kemudian kurasakan semprotan sperma yang kuat
menghantam vaginaku, diiringi jeritan kenikmatan dari Pak Bambang, aku
teriak kaget tak menyangka begitu kuat denyutannya, lima enam tujuh
delapan denyutan yang hebat melandaku disusul denyutan kecil lainnya,
mengisi vaginaku dengan cairan hangat sperma. Aku ambruk tak lama
kemudian dalam pelukannya, meskipun tidak ikutan orgasme tapi kuatnya
semprotan itu begitu nikmat terasa, napasnya menderu kuat ditelingaku,
seperti orang yang sehabis lari marathon. “Ugh, lebih satu minggu aku tak melakukan ini” katanya pelan sambil
membelai rambutku setelah dia berhasil mengatur nafasnya normal. “Emang ibu kemana?” tanyaku lancang. “Dia lagi ke luar kota, biasa kegiatan kelompok ibu ibu” jawabnya masih mengelus elus rambutku. “Wah ibu pasti puas dengan permainan Bapak seperti ini, bisa KO dia
apalagi lidah Bapak pandai sekali bermain di bawah” aku memuji dan
semakin berani bertanya karena beliau juga tidak mengalihkan perhatian
ke pembicaraan lain, berarti tidak keberatan. “Ah enggak, dia membenci permainan oral, tapi masih hebat di ranjang,
maklum usia kami cukup jauh, dia kan 44 sedangkan aku sudah 56″
Pembicaraan kami berlangsung cukup lama mengenai keluarganya,
terkadang dia memuji kehebatan istrinya bahkan menyanjungnya, aku jadi
tambah bingung, dari pembicaraan itu sebenarnya tak ada alasan untuk
selingkuh mencari wanita lain tapi tetap saja dilakukannya sebagai
selingan hidup, masak makan sayur asem terus, itu alasan klasik yang
selalu di ucapkan lelaki, dasar laki laki, dimana saja ternyata sama
hanya kemasannya saja yang berbeda. Handphone-nya berbunyi, rupanya dia memang sudah menunggu makanya
ditaruh HP itu di ranjang. Tanpa memintaku turun dari tubuhnya dia
terima telepon itu. “Ya sayang, enggak lho Mama kan ke Bandung sama ibu ibu sekarang Papa
ada di Surabaya sayang, nggak bisa, kamu bilang saja sama tantemu ntar
Papa akan ganti sampai minggu iya, senin aja deh, malam sayang” Aku hanya diam saja mendengar pembicaraannya, ternyata dari anak
perempuannya yang sedang kuliah di Yogja, berarti hanya sedikit lebih
muda dariku. Beberapa saat kami saling membisu, penisnya sudah keluar
dari vaginaku, kurasakan cairan sperma menetes keluar. Akhirnya aku
turun dari tubuhnya, kubersihkan kejantanannya dengan tisu yang ada di
samping ranjang, baunya begitu menyengat, lalu kutinggalkan ke kamar
mandi membersihkan sperma yang ada di vaginaku. Jam menunjukkan pukul 9:35 malam ketika aku keluar kamar mandi
selesai mandi, kulihat Pak Bambang sudah duduk di sofa sudah mengenakan
celana dalamnya, perutnya kelihatan semakin buncit dengan posisi duduk
seperti itu.
Kubuatkan 2 cangkir teh dari mini bar, kuhidangkan ke depan beliau dan aku langsung duduk di pangkuannya dengan sikap manja. “Besok main dimana lagi Pak?” tanyaku sambil bergelayut di lehernya. “Bukit Darmo, dekat sini aja, jadi nggak perlu buru buru berangkat jam 5 kayak tadi pagi kalo ke Finna” “Terus besoknya lagi?” “Ke Ciputra, tapi cuma 18 hole supaya bisa selesai siang dan sang juara punya waktu untuk menikmati hadiahnya sebelum pulang ke Jakarta flight terakhir” Aku banyak menanyakan istilah golf yang kudengar tadi, dan dengan penuh kesabaran dia menerangkan aturan aturan dasar permainan golf, termasuk arti istilah itu dan cara penilaiannya diselingi ciuman ringan pada leher dan dadaku. Sebagian kupahami tapi tidak sedikit yang terlupakan, maklum begitu banyak pelajaran yang kuterima dalam waktu singkat, ditambah lagi tangan Pak Bambang yang selalu rajin menjamah tubuhku sambil menerangkan tadi. Tubuhku sudah merosot di antara kakinya setelah dia selesai menjelaskan tentang golf, handuk penutupku telah lama melayang ke ranjang, giliran aku membuktikan one in hole pada permainan lain, bukan hole in one. Pak Bambang melihat sambil mendesis ketika penisnya meluncur keluar masuk mulutku sembari mengelus mesra rambutku. “Udah udah, ntar aku kebablasan” katanya lalu berdiri menuntunku ke ranjang.
Aku telentang pasrah menanti cumbuannya, tapi dia malah membalik
tubuhku dan memintaku pada posisi merangkak. Vaginaku terbuka lebar
menghadapnya, mengundang menanti kehangatan penisnya mengisi liang
sempitku, dia tidak langsung memasukkan penisnya tapi menciumi pantat
dan vaginaku terlebih dahulu. Kembali kurasakan gerakan penuh perasaan
saat penisnya masuk menyusuri dinding dinding vaginaku, begitu pelan
hingga kurasakan seperti suatu perjalanan panjang menembus lorong lorong
kenikmatan. Aku mulai mendesah ketika Pak Bambang mengocokku dengan
iramanya yang berkombinasi cepat dan pelan, sesekali diselingi sodokan
keras mendadak yang membuatku menggeliat kaget. Kocokan demi kocokan, remasan demi remasan dan desahan demi desahan
mengiringi permainan kami yang sama sama berusaha merengkuh kenikmatan
duniawi, terlupakan sudah pembicaraan tentang istrinya saat aku masih
dalam pelukannya tadi, terlupakan sudah permintaan anaknya yang ada di
Jogja, kami berusaha untuk saling memberi kenikmatan. Tak lebih 5 menit
kemudian Pak Bambang kembali menggempur vaginaku dengan denyutan
denyutan nikmat, jeritanku beriringan dengan jerit kenikmatannya, dan
dia langsung ambruk menindih tubuhku yang sudah tengkurap di ranjang.
Desah napasnya menderu hebat ditelingaku, kubiarkan sejenak sebelum
kuminta turun karena aku tak bisa bernapas.
Akhirnya kami tertidur berpelukan dalam keadaan telanjang tak lama
kemudian, dia tak berani tidur terlalu malam karena besok masih harus
mempertahankan piala kemengangannya. “Aku harus mempertahankan kamu di kamar ini besok, jadi perlu istirahat
yang banyak untuk jaga kondisi” pesannya sebelum terlelap. Hari Kedua Kami terbangun oleh morning call keesokan paginya, jam masih
menunjukkan pukul 5 pagi, terlalu pagi bagiku untuk bangun tapi aku tak
bisa menolak. Untuk mempersingkat waktu kami mandi bersama, dia menolak
ketika kupancing untuk bercinta di kamar mandi. “Ntar loyo dan nggak bisa menang, kita lakukan saja ntar sore, janji,
makanya doakan aku menang” katanya penuh optimis bisa mempertahankan
“pialanya”. Pukul 6:35 kami sudah berada di Coffe shop, ternyata mereka sudah lengkap menunggu kedatangan Pak Bambang. “Ini dia sang juara bertahan, sudah biasa kalo juara bertahan datang belakangan” goda Pak Ade. Mereka hanya memesan bubur ayam atau sandwich, sekedar mengisi perut
sebelum bertanding. Sering kulihat mereka memandangku dengan pandangan
yang aneh seakan menelanjangiku, entah apa yang ada dalam pikirannya,
mungkin juga mereka membayangkan apa yang telah Pak Bambang lakukan pada
gadis yang seusia anaknya ini, tapi aku tak peduli, toh pandangan
seperti itu sudah sering kali kualami.
Akhirnya mereka meninggalkan “Piala Bergilir” sendirian di hotel,
untuk diperebutkan kembali pada hari kedua. Pak Bambang sempat mengecup
kedua pipiku dihadapan rekan rekannya sebelum masuk ke mobil.
Sepeninggal mereka, aku kembali ke tampat kost melanjutkan tidurku yang
terpotong. Aku sama sekali tidak memikirkan siapa yang akan memiliku
pada hari kedua ini, toh siapa saja dari mereka bagiku sama saja. Pukul 11 pagi aku sudah keluar dari tempat kost, hari ini aku sudah
menerima dua booking-an, pertama di Palm Inn dan nanti jam 2 siang ke
Hotel Novotel di daerah Dinoyo. Kupacu mobilku menuju Palm Inn di
kawasan Mayjen Sungkono, tempat yang terpencil, ideal bagi laki laki
yang selingkuh. Para room boy yang sudah hapal dengan mobilku segera
berlarian menyambut kedatanganku, mereka sudah hapal kegemaranku yang
selalu mencari kamar yang di pojok karena kamarnya lebih bagus dan luas,
soal tarip yang lebih mahal bukanlah urusanku karena tamuku selalu
membayar harga kamar tanpa banyak tanya. Limabelas menit aku menunggu kedatangan tamuku, kuminta salah seorang
Room Boy yang sudah cukup akrab kukenal untuk menemaniku sebentar, dari
dia aku tahu selama ini banyak tamu yang mencari aku atau GM yang
menanyakan nomer HP-ku, tentu saja aku tak mau berhubungan dengan GM
kelas teri yang banyak beredar di tempat tempat seperti itu, bukan
kelasku. Akhirnya tamuku datang juga setelah rokok ketiga habis kuhisap,
kuminta Room Boy tadi memindahkan mobilku ke tempat yang sejuk dan
memasukkan mobil tamuku ke garasi yang aman tertutup.
Tamuku ini adalah salah seorang pelanggan tetapku, jadi sudah seperti
teman yang sudah lama. Sebenarnya lebih enak melayani pelanggan seperti
ini, sudah sama sama tahu irama permainannya, jadi tak perlu menebak
kemauannya, semua berjalan alamiah tanpa ada keterpaksaan, bahkan tak
segan untuk mencoba sesuatu yang baru, entah berasal dari fantasi atau
dari melihat film. Namun demikian bukan berarti menghadapi tamu baru tidak ada enaknya,
justru seninya terletak pada cara membaca gaya permainan mereka,
sensasinya jauh lebih tinggi. Kuhabiskan hampir 1.5 jam untuk 2 babak percintaan dengan tamu
pertamaku, seperti sudah menjadi perjanjian tak tertulis bahwa untuk
Short Time berlangsung minim 2 babak, jarang yang kurang atau lebih.
Tidak terlalu melelahkan karena tiap babak tidak lebih dari 10 menit,
itu sudah rata rata, hanya beberapa saja bisa dihitung dengan jari yang
bisa bertahan setengah bahkan lebih satu jam nonstop atau bahkan
semalaman hingga pagi. Dengan alasan ingin istirahat, aku tinggal lebih lama di kamar itu
setelah tamuku pergi. Kuhubungi GM yang mengatur dengan tamu keduaku
untuk ketemu sekarang, lima menit kemudian dia menyatakan
persetujuannya. Setelah ganti baju dan pakaian dalam (aku sudah terbiasa
membawa 3-4 set baju dan pakaian dalam di mobil), mobilku meninggalkan
Palm Inn meliuk liuk disela kemacetan jalanan Surabaya menuju Hotel
Novotel.
Jam 1 lebih dikit mobilku sudah memasuki pelataran parkir hotel,
kutuju kamar yang disebutkan GM tadi, kulewati kolam renang di depan
kamar kamar yang menyerupai cottage, tak ada orang yang berenang di
siang hari seperti ini. Tamuku kali ini adalah lagi lagi seorang
chinese, usianya sekitar 48 tahun, tubuhnya ceking dengan kacamata minus
menghiasi wajahnya, terlihat begitu kolot, aku jadi teringat pada salah
satu tamuku pada saat awal awalku di Hilton, saking kolotnya sampai
sampai dia mengenakan celana kolor, bukan celana dalam pada umumnya
(bagi pembaca yang mengikuti ceritaku sejak awal pasti mengetahuinya).
Tanpa membedakan bentuk fisik yang ada, kulayani dia sama seperti tamuku
lainnya, kecuali kalo ganteng dan aku benar benar menyukainya, maka ada
pelayanan yang lebih karena aku juga ingin memperoleh kenikmatan
darinya. Mula mula dia menggumuli tubuhku, menciumi seluruh organ intim yang
ada, tapi dia selalu menolak setiap kali kucoba memasukkan penisnya ke
vaginaku. Aku bingung karena tak tahu maunya, akhirnya kusadari bahwa
dia ingin kukulum hingga mencapai klimaks, meskipun tak pernah terucap
tapi dari pengalaman aku bisa membaca kemauannya. Tanpa kesulitan yang
berarti aku bisa membuatnya orgasme dalam waktu 5 menit permainan oral,
kuusapkan penisnya pada kedua buah dadaku dan dia tersenyum puas.
Babak selanjutnya berlangsung 20 menit kemudian, dia hanya bertahan
mengocokku pada 3 menit pertama, selanjutnya aku diminta melakukan oral
hingga keluar seperti sebelumnya, ternyata perlu waktu lebih lama untuk
membikinnya orgasme kedua dengan oral. Sebagai seorang profesional tentu
saja aku tak boleh cepat menyerah, berdasar pengalaman, kutambah
rangsangan dengan mengelus elus dan menjilati kantong bolanya, dan
ternyata effektif, beberapa saat kemudian dia menggapai klimaks dan
menyapukan di wajahku saat penisnya berdenyut, memuntahkan sedikit
cairan ke mukaku. Kuterima amplop coklat berisi uang pembayaran jasaku
dan kumasukkan ke tas Eigner. Matahari masih bersinar terang saat aku keluar dari Hotel Novotel,
masih lama sebelum ke Hotel Mercure, paling tidak ada waktu 4 jam lagi.
Kuarahkan mobilku menuju Tunjungan Plaza, sekedar belanja baju, pakaian
dalam dan lingerie, aku paling senang koleksi pakaian dalam dan lingerie
yang sexy karena akan menunjang langsung penampilanku di mata tamu. Kuhabiskan uang hasil pembayaranku tadi untuk membeli beberapa potong
kebutuhanku dan parfum, ternyata masih tidak cukup, hingga aku harus
menggunakan credit card. saat aku memilih pakaian dalam, HP-ku
berdering, dari GM yang mengatur acara di Mercure, dia memintaku datang
jam 4 langsung ke Shang Palace di Hotel Shangri La, aku iyakan saja,
berarti waktu shoppingku berkurang, tinggal kurang dari 2 jam lagi. Lima
menit kemudian HP-ku kembali berdering, dari salah seorang tamu
langganan lainnya, dia minta aku menemaninya nanti malam, tentu saja
kujawab nggak bisa karena sudah ada janjian dengan seseorang.
Dia
memohon seperti orang yang mau mati kalau tidak tidur denganku, tapi
komitmentku harus kujaga apalagi dengan bookingan paket seperti ini,
jelas uangnya jauh lebih besar dibandingkan yang hanya semalam, terpaksa
kutolak ajakan nginapnya. “Aku lagi di TP ini kalau mau sekarang aja di HT” jawabku bergurau
dengan mengajaknya di Hotel Tunjungan yang hanya bersebelahan dengan TP. Diluar dugaan dia setuju dan segera meluncur. “Oke, 15 menit lagi ketemu di Lobby” jawabnya langsung menutup teleponnya. Giliran aku yang bingung karena tidak menyangka dia akan setuju, segera
kubayar semua belanjaanku dan bergegas menuju HT dengan jalan kaki.
Sebenarnya waktu yang tersisa masih lebih dari cukup untuk melayaninya,
tapi karena aku harus berada di Shangri La jam 4 nanti tentu waktunya
sangat mepet, namun aku sudah terlanjur buat janji maka terserahlah apa
kata nanti. Kutitipkan barang belanjaanku di Concierge yang sudah aku
kenal, karena seringnya berkunjung ke hotel itu, dan kutunggu si Joni,
nama tamuku, di Lobby. Dia datang tak lama kemudian karena memang kantor
atau tepatnya tokonya di Kedung doro. Setelah dia check in dan kuambil barang belanjaanku di concierge, kami menuju kamar hotel.
Kamipun melakukan gerak cepat, tanpa kata kata setibanya di kamar
langsung berciuman sambil saling melucuti pakaian. Kami bercinta di atas
karpet di depan pintu, hanya beralaskan handuk, aku tak peduli jika
desahan nikmatku terdengar dari balik pintu karena kocokan dia memang
begitu nikmat, apalagi setelah melayani 2 tamu tanpa orgasme. Karena
sudah terbiasa dengan Joni, akupun tak segan untuk memintanya dalam
berbagai posisi, masih tetap di atas karpet. Akhirnya aku mendapatkan
orgasme darinya secara bersama sama, jeritanku begitu keras menggema,
seakan menumpahkan segala perasaan yang terpendam sejak tadi. Babak kedua kami lakukan di atas ranjang 15 menit kemudian, kali ini
berlangsung cukup lama, mungkin 30 menit atau lebih tapi terasa begitu
cepat karena kami sama sama melakukannya dengan penuh gairah. Tak
kuhiraukan dering teleponku yang berbunyi nyaring, aku tahu itu pasti
dari si GM. Akhirnya akupun terkapar setelah 2 kali orgasme menyusulnya.
Masih sempat kuhabiskan sebatang Marlboro sebelum aku mandi. Aku terkejut ketika melihat jam, ternyata sudah pukul 4 kurang 10
menit, tak mungkin aku bisa sampai di Shangri La tepat waktu, rupanya
aku terlalu terlena dalam ayunan kenikmatan Joni. Meskipun dia agak
kecewa karena harus check out cepat cepat tapi dia bisa memahami
keadaanku, setelah berganti kaos dan pakaian dalam yang baru saja kubeli
tadi, kamipun keluar kamar dan check out sama sama.
Diperjalanan kuhubungi GM-ku dan minta maaf karena ketiduran, dia
sedikit marah dan minta aku segera meluncur. Jam 4.20 aku sudah berada
di lobby Shangri La, langsung turun ke Chinese Resto. Mereka sudah mulai
makan tanpa menunggu kehadiranku, sepertinya dari Ciputra mereka
langsung kemari. Aku minta maaf atas keterlambatanku tapi rupanya mereka
tak terlalu mempersoalkan, akupun segera duduk bergabung dengan para
golfer itu. Ketika kulirik ke arah Pak Bambang, terlihat raut kekecewaan
di wajahnya, sepertinya dia harus merelakan Pialanya jatuh ke pelukan
laki laki lain. Siapa? inilah yang aku tidak tahu dan baru kuketahui
sesaat sebelum masuk kamar nanti, seperti kemarin. Kali ini sedikit
banyak aku bisa mengikuti pembicaraan mereka karena ajaran dari Pak
Bambang kemarin, tapi masih saja tak bisa menebak siapa pemenangnya di
hari kedua. Selesai makan kami kembali ke Hotel, Pak Ade ikut di mobilku,
sepanjang jalan kucoba memancing siapa pemenangnya tapi dia tidak
memberi jawaban pasti, jadi aku masih harus menunggu lebih lama. Pak Ade
menggandengku memasuki Lobby hotel, aku yakin dialah pemenangnya,
ternyata salah, dia menyerahkanku ke Pak Bambang, berarti dia dapat
mempertahankan kemenangannya, berlima kami memasuki Lift. “Pak Napitupulu, kuserahkan piala bergilir ke anda, tapi mungkin besok
akan kurebut kembali” kata Pak Bambang menyerahkanku ke rekannya, Pak
Napit, bagitu panggilannya adalah pemenang dihari kedua.
Pak Napit menyalami Pak Bambang dan menerima uluran tanganku, dikecupnya kedua pipiku seperti sang juara yang mencium piala kemenangan. Kami semua tertawa dan tepuk tangan di dalam Lift. Kamar Pak Napit berseberangan dengan Pak Bambang, selintas kulihat Pak Bambang melihat kami saat masuk ke kamar, seperti tak rela pialanya di ambil alih si juara baru. “Kamu santai aja dulu aku mau telepon ke Jakarta” katanya dengan dialek batak yang kental Sepuluh menit dia menelepon ke rumah, sepertinya sebuah keluarga yang “bahagia”, aku membuat dua cangkir teh hangat. “Biar nggak mengganggu lagi nanti” katanya setelah menutup HP-nya. Pak Napit adalah orang yang paling senior diantara mereka, usianya beberapa tahun lebih tua dari Pak Bambang, mungkin 62-63 tapi wajahnya yang keras terlihat masih segar dan kelihatan lebih muda dari rekannya itu, apalagi postur tubuhnya yang langsing dan terjaga. Pak Napit melepas kaos dan celananya, meninggalkan celana dalam dan kaos singlet. “Lho kok belum dilepas, apa perlu aku lepasin” tegurnya sambil menyalakan Dji Sam Soe kreteknya. Aku jadi malu sendiri.
Dia membantuku melepas kaos yang baru aku beli tadi, begitu juga dengan celana Jeans-ku. “Wah bagus betul body kamu, apalagi bikini yang kamu pakai, bisa bisa aku tak bisa bangun lagi besok pagi” komentarnya setelah melihat tubuhku yang terbungkus bra merah berenda semi transparan. Dialek bataknya begitu kental terdengar lucu seperti pelawak yang sedang naik panggung. Kami duduk bersebelahan di sofa menghadap TV yang kebetulan di channel Star Sportnya menayangkan PGA Tournament, aku belum bisa melihat indahnya permainan itu, tidak seperti sepak bola atau tinju yang begitu menarik. Sembari nonton dan memberi komentar, tangannya tak henti menjelajah seluruh tubuhku, terutama bagian paha selalu dielus elusnya, entah disadari atau tidak. Akupun membalas dengan elusan yang sama. “Ah kau bikin aku tak bisa konsentrasi melihatnya” katanya saat tanganku meremas remas kejantanannya yang sejak dari tadi tegang. Dimatikannya TV itu dengan remote control, perhatiannya sekarang tercurah padaku.
Pak Napit merebahkanku di ranjang setelah terlebih dahulu melepas bra
dan celana dalamku, seperti kebanyakan laki laki lainnya, dia menjamah
seluruh tubuhku tanpa sisa. Bagian payudara adalah bagian yang paling
sering mendapat perhatian berlebih, begitu juga dengan vagina. Berulang
kali dia meremas dan mengulum buah dadaku yang terus berlanjut pada
sedotan kuat di vagina. Aku menggelinjang geli dan nikmat, kembali
dikulumnya kedua putingku dan disedot penuh nafsu, sementara itu jari
tangannya menyusup ke liang vaginaku, dua jari sudah mengaduk aduk liar.
Desahanku semakin keras ketika klitorisku dipermainkan dengan lidahnya
sambil masih tetap mengocok dengan kedua jari jarinya, aku menggelinjang
nikmat. Kucoba meraih penisnya tapi terlalu jauh dari jangkauan, ingin
kuremas kuat penisnya sebagai balasan. Lima menit lebih dia melakukan oral diselangkanganku, membuatku
terbakar birahi dengan cepat, apalagi aku tak bisa berbuat banyak
padanya kecuali hanya desah kenikmatan yang makin keras. Puas membikin
aku terbakar menggelepar tanpa daya, dia lalu telentang disampingku,
sekarang giliranku. Hal pertama yang kulakukan adalah melepas celana
dalamnya. Aku tertegun sejenak menghadapi kenyataan di depanku, panjangnya sih
biasa saja tapi besar diameternya melebihi rata rata umumnya, lebih
besar dari gengaman jari tanganku, aku sama sekali tak menyangka dia
mempunyai kejantanan yang begitu perkasa.
“Gila, gede banget” batinku
“Gila, gede banget” batinku
Gairah yang sudah meMbakarku semakin panas menggelora, terbersit
harapan semoga dia bisa bertahan lama, seperkasa penampilannya.
Sementara kubiarkan penis yang membikin vaginaku berdenyut tanpa sebab,
aku ingin mempermainkannya terlebih dahulu seperti yang dia lakukan
tadi. Tanpa menyentuh penisnya kucium bibirnya dan kukulum telinga dan
putingnya, dia mulai mendesah sambil meremas rambutku. Aku sadar,
semakin lama mempermainkannya semakin tersiksa pula aku, apalagi melihat
penis yang berdiri tegak begitu menggoda. Kucium paha dan kujilati
lututnya, aku tahu sebagian orang terangsang apabila lututnya dijilati
penuh gairah, dan Pak Napit termasuk di dalamnya. Aku sudah tak tahan lagi untuk mempermainkannya lebih lama, kuraih
kejantanannya, ternyata benar dugaanku, jari mungil tanganku tak bisa
menutup penuh di penisnya, kukocok sebentar lalu kumasukkan ke mulutku
yang sudah kelaparan sejak tadi. Kupandangi wajah Pak Napit yang merem
melek menerima kulumanku, desahannya lepas terdengar, apalagi ketika
lidahku menyusuri seluruh batang hingga pangkal kejantanannya, expresi
kenikmatan terpancar jelas di wajahnya yang keras. Capek juga mulutku
mengulumnya meski belum terlalu lama, karena besar berarti aku harus
membuka mulutku lebih lebar dan ini yang membuatku cepat pegal.
Kuatur posisi tubuhku di atasnya, kusapukan sejenak penisnya di
vaginaku dan pelan sekali kucoba memasukkannya. Baru kepala penis yang
masuk tapi vaginaku sudah terasa sesak, sedikit nyeri saat kupaksakan
melesakkan semuanya, meskipun perlahan lahan. Mungkin bibir vaginaku
sedikit tersobek, atau lecet karena permainan dengan si Joni tadi sore
cukup lama, aku tak tahu, yang jelas ada rasa nyeri di vaginaku. Dan
ketika semua penis itu sudah berada di dalam, aku tak berani bergerak,
begitu penuh dan serasa mengganjal di selangkangan. “Ooouwww.. sshh.. sshiitt” desahku pelan. “Sakit?” kata Pak Napit melihatku meringis. Aku hanya menjawab dengan senyuman, karena kutahu rasa sakit itu
hanya di permulaan saja, selanjutnya adalah rasa enak dan enak bercampur
nikmat. Kucengkeram lengan Pak Napit yang berada di dadaku saat dia
menggerakkan tubuhnya, aku masih mencari posisi yang nyaman sebelum
memulai gerakanku. “Jangan buru buru keluar Pak ya” pintaku sebelum memulai gerakan, dia hanya tersenyum penuh arti. Perlahan kuangkat naik tubuhku, perlahan pula kuturunkan, begitu
seterusnya dan semakin cepat. Penis itu mulai sliding di vaginaku, otot
otot vagina sudah bisa menerima. RAsa sakit sedikit demi sedikit berubah
menjadi nikmat dan semakin nikmat saat kocokanku makin cepat. Aku sudah
bisa menguasai keadaan dan kini sudah berani bergoyang seperti biasa.
Meskipun begitu tetap saja terasa sesak di vaginaku.
Pak Napit menarik tubuhku dalam pelukannya, berkurang tekanan
penisnya pada vaginaku tapi justru makin nikmat saat klitorisku tergeser
gerakan kocokannya. Dia melumat bibirku dengan gemas, desahanku
tertahan mulutnya. Napasku menderu hebat menerpa wajahnya, aku tak
peduli, malah membuat dia makin mempercepat irama permainannya. Aku
sudah tak tahan lagi, puncak kenikmatan tinggal sejengkal lagi kugapai,
tapi aku tak mau secepat itu, masih banyak yang ingin kurengkuh darinya. “Dari belakang Pak” pintaku sambil tersengal sengal untuk mengalihkan perhatian dan menurunkan atmosfir yang ada. Tanpa menjawab dia menghentikan gerakannya dan mendorongku turun. Aku
langsung nungging mengambil posisi doggie tapi Pak Napit malah
memintaku telentang, akupun menurut. Kupejamkan mataku rapat rapat saat
Pak Napit mendorong masuk penisnya, aku tak berani menantang sorot
matanya, terlalu malu untuk mengakui bahwa aku sangat sangat menikmati
bercinta dengan orang setua dia dan aku tak inging dia mengetahuinya.
Kembali aku menjerit keras saat penis Pak Napit memasuki vaginaku.
Tanpa mempedulikan jeritan kesakitan atau kenikmatan dariku, dia
langsung memompa dan menekan sedalam mungkin, klitorisku tertekan
gesekannya. kucengkeram lengannya dengan kuat, mungkin kuku kukuku
melukainya tapi aku tak peduli, dan ketika mataku terbuka aku begitu
malu melihat bagaimana Pak Napit memandangi pancaran kenikmatan yang
kuperoleh darinya, secepatnya kupejamkan kembali dengan tersipu malu. Akhirnya petahananku runtuh juga beberapa menit setelah dia memompa
dengan cepat, aku benar benar menjerit histeris mendapatkan orgasme
darinya, kututupi mukaku dengan bantal karena malu tapi dia menariknya,
justru makin melototi mukaku yang sedang dilanda orgasme hebat sekali,
wajahnya menyeringai penuh kemenangan. Tubuhnya semakin keras menghentak
disaat aku sedang berada di puncak, aku menggeliat tanpa daya seiring
dengan jeritan jeritanku.
Kocokannya masih berlangsung beberapa menit kemudian, napasku semakin
tersengal mendapat sodokan demi sodokan. Tanpa memberiku kesempatan
mengambil napas, dia membalikku. Penisnya langsung menusuk tajam dari
belakang dan mengocok dengan cepat, semakin keras aku menjerit atau
lebih tepat melolong nikmat, permainannya sudah kasar kearah liar.
Begitu keras dia menyodok dan menghentakku sembari menarik rambutku ke
belakang. Aku yang terbiasa melayani permainan kasar makin menikmati
keliarannya, kulawan gerakannya dengan goyangan pantat. Lima menit lebih
dia memompa dari belakang sebelum akhirnya kurasakan tubuhnya menegang
dan penisnya terasa membesar disusul denyutan sangat kuat menyemburkan
sperma di vaginaku. “Ooh, sshhiitt.. bitch” teriaknya mengiringi semprotannya.
Aku tak mampu lagi berteriak, kugigit kuat bantal yang ada dibawahku,
gempuran itu begitu kuat “menghajar” vaginaku tanpa ampun. Dicabutnya
penis itu dengan kasar dari vaginaku hanya sedetik setelah habisnya
denyutan itu, tanpa memberiku kesempatan menikmatinya lebih jauh.
Tubuhku langsung dibalik, dia mengangkang di atas dada hendak
menjepitkan di buah dadaku. Aku ingin memberi melebihi yang dia
inginkan, sebagai ungkapan terima kasih, kuraih penis yang masih penuh
sperma dan kumasukkan ke mulutku, kukocok sebentar hingga “bersih tanpa
noda”. Kami berdua menggeletak terkapar kehabisan tenaga, benar benar
terkapar seperti orang kalah bertanding. “Kamu hebat bisa bertahan segitu lamanya” katanya dengan napas masih tersengal. “Ah bapak yang hebat membuatku menggelepar kayak ikan” aku berkata sejujurnya.
Baru sekarang kurasakan kelelahan yang teramat sangat, mungkin
akumulasi sejak tadi pagi setelah melayani bercinta dengan empat orang
hari ini dan 2 terakhir benar benar menguras energi dan emosiku. Sendi
sendiku serasa terlepas dari tempatnya, aku tak mampu lagi berdiri,
hanya napas kami yang menderu terdengar di kamar ini. Aku tak tahu lagi
sudah berapa lama kami tadi bercinta, paling tidak lebih dari 30 menit
menurut perasaanku. Terus terang aku salut akan stamina Pak Napit yang
begitu prima mampu melayani nafsu wanita yang seusia anaknya, bahkan
membuatnya terkapar tak berdaya. Ingin rasanya melanjutkan babak kedua
segera, aku sudah tak sabar untuk merengkuh kenikmatan lebih banyak
lagi. Dengan langkat tertatih aku ke kamar mandi, rasanya penis itu masih
mengganjal di selangkanganku. Vaginaku terasa perih saat kucuci dengan
sabun, mungkin lecet atau sobek di bibirnya. Aku langsung mandi air
hangat menyegarkan diri supaya bisa bertahan lebih lama di babak kedua. Ketika aku kembali ke kamar ternyata Pak Napit sudah ngorok, masih
dalam keadaan telanjang, padahal belum terlalu malam, masih belum jam
sebelas, mungkin terlalu capek, baik karena golf tadi siang maupun dari
permainan sex barusan, akupun terpaksa harus memendam hasratku yang aku
sendiri tak tahu apakah bisa terlaksana.
Meskipun sudah capek, aku tak bisa begitu saja tertidur, apalagi
dengan hasrat yang masih mengganjal. Kucoba meredam gairahku dengan
mengalihkan ke layar TV, tapi hingga satu jam berlalu masih juta
menggebu hasrat untuk segera bercinta dengan Pak Napit. Seharusnya aku
ikut menjaga stamina dia untuk bertanding besok, tapi aku khawatir
kejadian seperti Pak Bambang terulang lagi, berarti tertutup sudah
kemungkinan untuk meraih nikmat kembali dengan Pak Napit. Setelah kupikir beribu kali dan mempertimbangkan masak masak untung
rugi maupun resikonya, akhirnya kuberanikan diri mendekati Pak Napit
yang pulas dalam tidurnya. Kuabaikan segala macam keangkuhan dan rasa
malu, aku harus menerima segala resiko yang terjadi akibat perbuatanku
ini. Dengan ragu tanganku meraih penis Pak Napit yang lemas lunglai,
kukocok dengan pelan dan kumasukkan ke mulutku, perlahan tapi pasti
penis itu membesar di dalam mulut. Kudengar desahan halus dari Pak
Napit, entah dia sudah bangun atau masih tertidur. Tak lama dalam
kulumanku, penis itu segera tegang membesar, siap untuk dipakai. Kulihat
Pak Napit masih memejamkan matanya, tapi suara dengkuran sudah hilang
berganti desahan.
Peralahan kunaiki tubuhnya dan kutuntun penisnya memasuki vaginaku. “Kamu memang nakal” kudengar suara pelan mengagetkanku yang sedang “berjuang” mengisi vaginaku dengan penis besar itu. “Habis enak sih.. sshh.. mm” jawabku singkat sambil menurunkan pantatku
mendorong masuk penisnya, Pak Napit ikutan mendesah meski matanya masih
terpejam. Tanpa membuang waktu lebih lama aku langsung menggoyangkan pantatku,
bergerak liar di atas tubuhnya dengan kecepatan tinggi. Gerakanku makin
liar ketika tangan tangan Pak Napit ikutan mempermainkan buah dada dan
putingku. Aku mendesah lepas menikmati kocokan penisnya yang semakin
nikmat terasa, tak kuhiraukan rasa nyeri yang sudah berganti menjadi
kenikmatan tak terkatakan. Cukup lama aku “berkuda” di atas Pak Napit. Aku tak mau kenikmatan
ini segera berakhir, kuhentikan gerakanku setiap kali kurasakan tubuh
Pak Napit mulai menegang hendak orgasme dan kulanjutkan lagi setelah
ketegangannya menurun. Dengan cara begini aku bisa memperpanjang
permainan, limabelas menit telah berlalu, sudah 2 kali kurengkuh orgasme
secara beruntun. Aku memang egois, tapi toh dia tidak protes keberatan
atas perlakuanku.
Ketika aku hendak meraih orgasme ketiga, Pak Napit menarikku dalam
pelukannya dan langsung mengocok dari bawah, tak dihiraukannya lagi
permintaanku untuk berhenti sebentar, berarti dia ingin segera mencapai
klimaks, maka akupun berusaha secepatnya mendapatkannya terlebih dahulu.
Kami seakan berpacu menuju puncak, seandainya dia berhasil mendahuluiku
maka Game Over tapi sebaliknya kalau aku mencapai terlebih dahulu, dia
masih bisa mendapatkannya. Tubuh kami sudah menempel rapat, keringat
saling bercucuran di sekujur tubuh, kami memacu nafsu berlomba mencapai
batas akhir. Rupanya nasib baik masih berpihak padaku, beberapa menit
kemudian meledaklah jeritan yang kutahan sejak tadi, otot otot vaginaku
berdenyut lebih keras saat kugapai orgasme, tubuhku menegang. Pak Napit
makin mempercepat kocokannya dan dia menyusulku beberapa detik kemudian
diiringi jeritan kenikmatan kami berdua. Tubuhku lemah lunglai telungkup di dadanya, detak jantung kami seakan
menyatu. Terpenuhi sudah hasrat yang sejak tadi terpendam dengan penuh
kepuasan. Akhirnya kami tidur dalam kelelahan yang hebat dan kenikmatan
yang masih tersisa untuk dibawa tidur. Pak Napit benar benar telah
menutup hariku dengan penuh kenikmatan, terima kasih Bapak, kuharap
besok Bapak bisa memenangkan pertandingan dan kita bisa mengulang
kenikmatan ini lebih lama lagi, harapanku sebelum terlelap.
Hari Ketiga
Keesokan paginya ketika kubuka mataku, kulihat Pak Napit sudah rapi
bersiap untuk berangkat. Tak ada kesan capek dalam raut wajahnya, bahkan
sepertinya tampak lebih ceria dibanding kemarin. “Maaf Pak, aku terlalu lelap tidur” sapaku tergopoh gopoh beranjak ke kamar mandi. “Kamu nggak usah ikut turun kalo masih ngantuk, ntar siangan aja pulang”
katanya, aku tahu dia sudah terlambat menghadiri acara sarapan pagi. “Nggak kok, aku cuma sikat gigi dan cuci muka” Akhirnya tanpa mandi dan ber-make up aku mendampingi Pak Napit ke Coffe Shop. “kamu tetap cantik meski tanpa make up” sapa Pak BAmbang ketika aku sudah berada diantara mereka. Dengan mesra aku melayani Pak Napit selama sarapan, hal yang sama kulakukan pada Pak Bambang kemarin. “Gimana tidurnya Pak, nyenyak?” tanya Pak Bambang, aku yakin dia sedikit cemburu. “Tanya aja sama dia” jawab Pak Napit sambil mengunyah sandwich bikinanku, aku hanya menunduk malu. “Melihat mata Lily yang masih cekung, aku bisa tebak bahwa kalian kurang tidur” goda Pak Ade. “Jadi kesempatan kita terbuka untuk merebut piala dari Pak Napit” celetuk lainnya yang aku sudah lupa namanya. Mukaku merah mendengar olokan mereka.
Setelah mencium pipi dan keningku, Pak Napit bergabung dengan rekan
rekannya menuju Ciputra Golf Club (dulu masih bernama Citraland). Aku
kembali ke tempat kost untuk melanjutkan istirahatku, vaginaku masih
terasa sakit dan nyeri, hari ini kuputuskan untuk sementara tidak terima
booking-an supaya tidak memperparah luka di vaginaku, apalagi bila
ternyata pemenangnya kembali Pak Napit, tentu memerlukan stamina yang
lebih prima. Semua itu harga yang harus kubayar atas kenikmaan yang
kudapat dari Pak Napit, tapi aku sama sekali tak menyesalinya. Kuhabiskan waktuku dengan beristirahat, menunggu tiba saatnya.
Beberapa telepon masuk mengajak ketemu terpaksa kutolak dengan alasan
lagi Mens. Selepas makan siang aku bersiap menuju ke Hotel Mercure,
memenuhi sessi terakhir dari kesepakanku di akhir pekan ini. Sengaja
kukenakan pakaian yang paling sexy yang baru kubeli kemarin, aku ingin
membuat mereka terkesan di hari terakhir kunjungannya ke Surabaya.
Ketika kuhubungi GM-ku, ternyata dia juga tidak tahu tentang acara
terakhir ini, belum ada informasi lebih lanjut kecuali aku disuruh
tunggu di Mercure.
Setiba di Mercure aku langsung cek ke receptionist, ternyata mereka
belum datang juga padahal sudah hampir pukul 1 siang, terpaksa aku harus
nunggu di lobby untuk waktu yang aku sendiri tak tahu. Menunggu adalah
pekerjaan yang paling menjemukan, apalagi menunggu di tempat terbuka
seperti lobby hotel ini, suatu pekerjaan yang paling kubenci selama ini.
Ingin kutunggu di mobil saja tapi aku takut tidak bisa melihat
kedatangan mereka, akhirnya kuputuskan menunggu di Coffe Shop. Kucari
tempat yang strategis, tidak terlalu mencolok tapi bisa memandang
langsung ke arah Lobby, agak susah karena jam makan siang begini cukup
banyak tamu di Coffe Shop itu, untung aku mendapatkannya. Secangkir teh hangat dan snack menemani penantianku. Sepuluh menit
sudah berlalu, si GM ternyata tidak bisa menghubungi mereka karena
HP-nya pada OFF, jadi aku harus memperpanjang penantian, menyesal aku
tadi buru buru berangkat, mestinya kutunggu saja di tempat Kost menanti
panggilan, toh tidak terlalu jauh letaknya. “Lagi nunggu seseorang ya” suara dari samping mengagetkanku, ternyata si
Doni, salah seorang langgananku yang royal memberi tip dan hadiah
hadiah kecil. “Eh kamu Don, ngapain disini, pasti juga sedang nunggu seseorang” jawabku menutupi kekagetanku. “Sok tahu, aku lagi jemput temanku, dia baru datang dari Medan minta di
antar ke Pasar Turi atau Kapasan, biasa kulakan” jawabnya sambil
menghembuskan asap rokoknya ke arahku. “Teman apa teman” godaku.
Kamipun ngobrol biasa seperti layaknya seorang teman, bukan seorang tamu, itulah kalau udah sering ketemu. “Emang kamu janjian jam berapa?” tanyanya setelah sepuluh menit belum juga ada yang menghampiriku. “Jam makan siang sih tapi nggak tahu kok belum datang, katanya masih main golf di Ciputra” jawabku terus terang “Kita tunggu di kamar aja yuk, lumayan sepukul dua pukul” ajaknya nakal. “Gila kamu, kalo tiba tiba dia datang gimana, lagian saru menyerobot punya orang” jawabku sambil mencubit lengannya. “Kalo dia datang kan pasti telpon kamu, bilang aja masih di jalan atau
apa kek, kan tinggal pindah kamar saja” dia mendesakku meskipun tak ada
nada paksaan. Aku terdiam, ucapannya ada betulnya juga sih, lagian aku tahu betul
permainan dia di ranjang, biasanya tak lebih lama dari hisapan sebatang
rokok kretek, aku mulai tertarik dan memperimbangkan tawarannya. “Kalo ketahuan kan aku kehilangan order dan langganan” kucoba keseriusan tawarannya. “Ya jangan ketahuan dong, tapi nggak usah khawatir, aku akan ganti kerugianmu, kayak nggak tahu aku aja”. “Bukan gitu maksudku, tapi jangan lama lama ya”. “Semakin kamu banyak bertanya semakin lama jadinya” jawabnya seraya berdiri menuntunku setelah merasa mendapat lampu hijau.
Setelah menyelesaikan pembayaran makanan dan minuman kami menuju ke kamar yang letaknya satu lantai di atas kamar Pak Napit. Ternyata temannya yang punya kamar itu sedang mandi, tak mungkin memintanya menunggu di lobby. “Ya udah, jangan keluar sebelum kupanggil” katanya sambil mendorong temannya ke kamar mandi. Aku tertawa geli melihat tingkah mereka. Untuk mempersingkat waktu segera kukeluarkan penis Doni dari lubang resliting celananya, aku langsung berjongkok mengulumnya, sekedar melumasi dengan ludahku. Dalam hitungan detik penis itu sudah menegang dan siap pakai. Hanya melepas celana Jeans, aku langsung telentang di ranjang. Akhirnya kurasakan kocokan pertama di hari itu dari Doni, yang menyodokku tanpa melepas pakaian sedikitpun. Tak seperti biasanya dia melakukan dengan singkat, kali ini ternyata berlangsung lebih lama dari dugaanku, bahkan kami sempat berganti posisi dogie sebelum akhirnya menyemprotkan spermanya di vagina yang sudah kusiapkan sejak pagi untuk kupersembahkan pada sang juara. Semua itu berlangsung tak lebih dari 7 menit.
Aku tidak bisa mencuci vaginaku karena ada teman Doni, kubiarkan
spermanya menetes keluar dan hanya kuusap dengan selimut. Kubiarkan
bagian bawahku telanjang beberapa waktu lamanya supaya lebih banyak
cairan itu mengalir keluar dari liangku. Sepuluh menit berlalu, masih juga belum ada kepastian. Doni rupanya
sengaja menghukup temannya di kamar mandi dan tidak boleh keluar. “Sekali lagi yuk, mumpung masih ada waktu” usul Doni melihat aku mondar
mandir gelisah dalam keadaan tanpa celana sambil mengepulkan asap rokok. Aku melotot protes tapi justru dia malah menarikku dalam pelukannya,
kupalingkan wajahku ketika dia berusaha mencium bibirku, aku tak mau
make up ku rusak karenanya, terlalu lama kalau harus memperbaikinya.
Doni malah tertawa dan membalikkan tubuhku, mendorongnya hingga posisiku
nungging menghadap ke meja, tanganku bersandar pada tepi meja. Dia
bersiap untuk menyetubuhiku dari belakang, aku protes tapi tidak melawan
saat penisnya menyentuh vaginaku. Saat Doni mulai mendorong masuk,
handphone-ku berbunyi, segera aku berlari mengambilnya, terlepaslah
penis yang sudah setengah jalan di vaginaku, kudengar sumpah serapah
darinya tapi hanya kutanggapi dengan ketawa geli.
Mereka sudah diperjalanan, berarti paling tidak masih ada 15 menit
sebelum sampai di hotel, masih cukup waktu satu babak lagi sebelum
menyambut mereka di Lobby. Kudekati Doni yang duduk di sofa sambil
mengelus penisnya, dia memandangku dengan penuh harap. Kuraih penisnya
yang mulai lemas dan kukulum kulum sebentar hingga menegang. Semenit
kemudian kami sudah berlayar menyeberangi lautan nafsu, dia mendayung
dari belakang melanjutkan yang sempat terputus tadi. Diperlukan hampir
10 menit untuk mencapai seberang kenikmatan, sedikit lebih lama dari
yang pertama tadi. Untunglah penis Doni masih dibawah rata rata hingga
tak sampai memperparah lukaku. Ketika kami berbalik, ternyata teman Doni sudah berdiri di depan
kamar mandi, hanya mengenakan celana dalam, secara reflek aku menutupkan
tanganku di selangkangan. “Sorry, teriakan cewekmu tadi terlalu hot mengundang rasa penasaranku” katanya.
Kuambil bantal menutupi vaginaku dan kulewati dia masuk ke kamar mandi. Bukannya aku sok suci, tapi sudah prinsipku untuk tidak memamerkan tubuhku di depan orang yang bukan tamuku. Setelah membersihkan diri dan menghapus sisa sisa jejak yang masih ada, kutinggalkan Doni dan temannya menuju ke Lobby. Mereka datang hanya berselang beberapa menit setelah kedatanganku. Kulihat mereka masih sibuk menurunkan stick golf dari mobil ketika Pak Ade menghampiriku. “Udah lama nunggu?” sapanya. “Ya kira kira 10 menit” jawabku bohong. “Pak Napit bilang kamu hebat di ranjang dan pintar oral” katanya pelan, aku kaget tak menyangka dia cerita ke teman temannya. “Ih kok Pak Napit ceritain ke semua orang sih” ada nada protes. “Cuma sama aku, dia kan anak buahku jadi akhirnya cerita setelah kudesak, aku jadi ingin sekali membuktikannya, sayang aku kalah, habis terlalu bernafsu sih”. “Kita ke toilet sebentar yuk” ajaknya, aku kaget dengan ajakannya, kutatap tajam matanya, dia serius.
Aku tak sempat menjawab karena rekan rekannya sudah datang, Pak Napit
menggandengku menuju Coffe Shop. Aku hanya memesan minuman, sekedar
menemani mereka makan siang. Sesaat kulihat Doni dan temannya melintasi
meja kami, dia memandangku sambil tersenyum. Pak Ade yang berada di seberangku memandangku dan memberi isyarat,
aku tahu maksudnya tapi pura pura tak melihat, belum kuputuskan apakah
menerima tawarannya atau tidak. Dia berdiri dan berbisik pada Pak Napit
yang duduk di sebelahku, tangan Pak Ade mencolek pundakku memberi
isyarat tanpa ada yang mengetahui, lalu dia pergi ke toilet. Aku bingung
tak tahu harus berbuat apa. “Permisi Pak, perutku tiba tiba mulas” bisikku ke Pak Napit. Pak Napit memberikan kunci kamarnya tapi aku menolak. “Di Lobby aja Pak, lebih dekat” jawabku buru buru berdiri seperti orang yang sakit perut. Pak Ade sudah menuggu di depan toilet pria, senyumnya mengembang saat
melihat kedatanganku, beruntunglah suasana di depan toilet itu tak ada
orang. “Tunggu sebentar masih ada orang” katanya.
Begitu orang itu keluar, buru buru kami masuk toilet Pria, masuk ke
WC dan menguncinya. Aku duduk di atas closet, kubuka resliting Pak Ade
yang berdiri di depanku dan mengeluarkan penisnya. Aku tak menyangka
melakukan hal yang sama 2 kali berturut turut, kali ini lebih gawat,
kulakukan di WC pria. Penis Pak Ade yang tegang dengan cepat meluncur
mengocok mulutku, merusak lipstik dan make up wajahku. Gagal sudah
memberikan yang terbaik pada sang juara, dua kali di dahului orang yang
sebetulnya tidak berhak, ada perasaan bersalah. Pandangan Pak Ade tak
pernah terlepas dari wajahku yang sedang mengulumya, dia tak berani
mendesah, tangannya menjaMbak rambutku menambah rusaknya riasanku, dia
seperti tak peduli.
Kulepas celana jeans-ku, aku nungging membelakanginya, kupentangkan
kakiku lebar, tanganku tertumpu pada kloset. Penis Pak Ade sudah melesak
di vaginaku beberapa detik kemudian, dia mengocokku langsung dengan
tempo tinggi diselingi sentakan keras. Hampir saja aku menjerit, kugigit
bibirku menahan kocokannya, tentu saja kami tak berani mendesah.
Semakin cepat dan keras sodokannya, semakin kuat aku menggigit bibirku,
tangannya sudah meremas remas buah dadaku, untunglah kaos yang kupakai
tahan kusut, kalau tidak pasti akan terlihat kusut hanya di bagian dada. Kudengar orang masuk ke toilet, kami terdiam sesaat menunggu dia
keluar, penis masih tetap menancap. Sodokan teras menghantamku setelah
orang itu keluar. “Aahh” jeritku tanpa sadar yang segera ditutup tangan Pak Ade. “Sstt” bisiknya, enak aja orang suruh diam tapi dia menyentak keras, protesku dalam hati. Kugigit jari Pak Ade yang ada di mulutku.
Kini aku duduk di pangkuan Pak Ade, kami saling berhadapan, giliranku
mengocoknya. Pak Ade menyingkap kaosku hingga ke dada, dilepasnya
kaitan tali bra yang ada di depan dan langsung mengulum putingku sambil
meremas remas. Aku hampir mendesah karenanya, kuhentikan gerakanku saat
kudengar seseorang masuk tapi Pak Ade justru memperkuat sedotannya,
kuremas remas rambutnya sambil menggigit bibirku menahan desahan. Tanpa
menunggu orang itu keluar, aku memulai goyanganku, biar tahu rasa,
pikirku. Tanpa kusadari aku semakin bergairah melayani Pak Ade dari yang
tadi ogah ogahan, ternyata bercinta penuh ketegangan seperti ini
menimbulkan sensasi tersendiri yang tak pernah kubayangkan. Kami sudah tak pedulikan lagi apakah ada orang diluar atau tidak, toh
tetap saja tanpa desah. Kudekap erat kepala Pak Ade di dadaku, aku
sudah hampir mencapai klimaks, tak tahu bagaimana menghadapi klimaks
tanpa jeritan kenikmatan, dan saat vaginaku berdenyut hebat aku hanya
bisa menggigit bibir bawahku sambil mendekap kepala Pak Ade makin rapat,
tak ada jerit kenikmatan. Sesaat kemudian Pak Ade mengikutiku ke puncak, penisnya bergerak hebat
di vaginaku, dia meremas buah dadaku makin kuat, kali ini kugigit jari
tanganku sambil menerima semprotan sperma yang membanjir.
Kami keluar sendiri sendiri setelah keadaan aman, Pak Ade kembali
bergabung dengan rekannya dan aku langsung pindah ke toilet wanita
merapikan make up dan rambut. Aku kembali bergabung dengan mereka
seperti tidak terjadi sesuatu, ternyata mereka sudah selesai makan, Doni
dan temannya sudah tidak ada di mejanya. “Maaf Pak, lama, abis mules banget sih” kataku setelah meninggalkan mereka mungkin sekitar 15 menit. Pak Napit menggandengku menuju Lift, aku sudah siap untuk diserah terimakan ke sang pemenang. “Oke, dengan ini aku serahkan piala bergilir, and the Lily goes to Pak
Bambang again” kata Pak Napit menirukan pembagian Piala Oscar, sambil
menyerahkanku ke pelukan Pak Bambang yang menyambut dengan mencium
bibirku, lainnya bertepuk tangan. Hilang sudah perasaan bersalahku karena telah memberikan tubuhku pada
dua orang terlebih dahulu sebelum sang juara menikmatinya, karena dia
telah pernah merasakannya. Aku menatap mata Pak Napit dengan perasaan bersalah, mungkin karena
“kuperkosa” tadi malam dia tidak bisa mempertahankan pialanya. “Jangan kaget kalo kamu kembali ke Pak Bambang, selama ini belum pernah
ada yang bisa mempertahankan pialanya 2 hari berturut turut, paling
berpindah sementara seperti ini” kata Pak Napit seolah menjawab rasa
bersalahku. Sepertinya aku memang harus mondar mandir dari kamar Pak Napit kembali lagi ke kamar depan.
Mereka langsung check out dari hotel langsung pulang, hanya sang juara yang tinggal hingga last flight nanti malam merayakan kemenangan bersama pialanya. “Kamu memang memberiku semangat bertanding yang luar biasa, karena kamu aku bertekad kuat untuk memenangkan di hari terakhir” kata Pak Bambang ketika kami di dalam kamar sambil memelukku. “Ah Bapak bisa aja” jawabku membalas ciumannya. “Kita mandi yuk, meneruskan yang telah terputus” ajakku sambil melepas celana dan kaosnya, sebenarnya aku ingin membersihkan tubuhku dari sisa sisa Pak Ade tadi. “Kamu ini memang benar benar penggoda, maunya to the point” jawabnya sambil mencubit pipiku dan melepasi seluruh pakaianku tanpa sisa. Kugandeng dia ke kamar mandi sebelum berbuat lebih jauh lagi, sambil menunggu air panas memenuhi bathtub aku duduk di kloset menghadap penis Pak Bambang yang setengah tegang, kuciumi dan kuusapkan ke wajahku. Pak Bambang mulai mendesis ketika lidahku menari di kepala penisnya dan semakin keras saat kukulum, persis seperti yang kulakukan dengan Pak Ade 20 menit yang lalu, hanya berbeda suasana. Pak Bambang memegang kepalaku lalu mengocok mulutku, tanpa kesulitan kumasukkan semua hingga ke pangkalnya, tidak seperti Pak Napit kemarin yang hanya mampu kukulum setengah saja. Pak Bambang berlutut di depanku, diciumi pahaku. “Jangan Paak” teriakku ketika Pak Bambang mau menjilati vaginaku.
Sebersih apapun aku mencuci pasti masih ada sisa dan bau sperma Pak Ade yang tertinggal, aku nggak mau dia menjilati sisa sisa sperma rekannya. Namun sayang, teriakanku tadi diterjemahkan lain olehnya, dikira aku teriak kenikmatan, dia malah memaksa membuka kakiku lebih lebar. Akhirnya kubiarkan saja dia menikmati lembabnya vaginaku, sambil berharap dia tidak terlalu sensitif mencium aroma sisa sperma. Lidahnya dengan lincah menyusuri lekuk sudut organ intimku, akupun mendesah nikmat, kuremas rambutnya dengan gemas, dia makin ganas menjilati tanpa ampun diselingi kocokan jari tangan yang bergerak gerak liar di dalam. Desahan nikmatku makin lepas. Aku tak tahan dipermainkan seperti ini, kudorong tubuhnya hingga terduduk di lantai, aku langsung menyusul turun ke pangkuannya. Segera kelesakkan penis Pak Bambang ke vaginaku dan langsung mengocok dengan gerakan pinggul memutar, dia menyambut putingku yang sudah berada di depannya dengan kuluman gemas penuh gairah. “Aagghh sshh ennaakk” desahku tanpa malu sambil mempercepat gerakanku. Mulutnya bergerak lincah dari satu puting ke lainnya. “Jangan dikeluarin dulu Pak, aku ingin yang lama” bisikku disela desahan kenikmatan, dia menjawab dengan pagutan di bibirku.
Kudorong tubuhnya lagi hingga telentang di lantai kamar mandi, aku
tahu dia merasa dingin karena lantai marmer itu, tapi tak kupedulikan.
Tubuhku makin cepat turun naik di atasnya. Air hangat di bathtub sudah
meluber tapi tak kami perhatikan, aku ingin spermanya yang meluber di
vaginaku. Namun luberan air di lantai mengganggunya, aku baru sadar
kalau Pak BAmbang sudah tidak muda lagi, seusia dia tentu gampang masuk
angin kalau kedinginan. “Kita ke bathtub aja yuk, sambil mandi” ajakku sambil menghentikan gerakanku, sekalian menurunkan tegangan birahi kami. Kami berendam bersama sama, air bathtub makin meluber keluar. Kami
tidak langsung menyambung adegan yang terputus, tapi saling memandikan,
saling menyabun dengan sentuhan sentuhan di bagian sensitif. “Mau disini apa di ranjang” kuberi dia pilihan, aku tahu dia sudah
berada dalam cengkeraman pesonaku, apapun yang kumau pasti dituruti. “Terserah kamu aja yang penting enak, tapi disini dingin, ntar rematikku
kambuh” katanya, dasar orang tua tak tahu diri, udah sakit sakitan gitu
masih juga doyan daun muda, batinku. “Ya udah kita di ranjang aja biar hangat, yuk aku keringin dari pada masuk angin” Setelah mengeringkan dengan handuk kamipun berpindah ke ranjang. Pak
Bambang langsung menggumuli tubuhku yang sudah telentang menantang, tak
secuil tubuhku terlewatkan dari jamahannya. “Dari belakang yuk, kemarin kan belum mencoba” ajakku, padahal aku sudah
lupa apakah memang belum mencobanya, tapi dia mengiyakan saja.
Untuk kesekian kalinya Pak Bambang meng-obok obok vaginaku dengan penisnya, digenjotnya keras tubuhku seakan ingin menjangkau rahimku. Aku diam saja tak menggerakkan tubuhku supaya dia bisa bertahan lebih lama, hanya desahanku yang terdengar. Aku menoleh ke arahnya, wajah Pak Bambang terlihat begitu serius mengocokku, butiran keringat sudah menghiasi mukanya, padahal kita barusan mandi. Lima menit lebih dia memompa vaginaku tanpa ada tanda tanda orgasme, sudah ada kemajuan dibanding kemarin. Dia membalik tubuhku telentang, inilah posisi yang paling berat bagiku, disamping perutnya yang gendut akan menekanku, aku juga tak bisa memandangi wajahnya saat mengocokku, bukan karena memang tidak ganteng tapi mengingatkanku pada Papaku.
Kupejamkan mataku saat penisnya menembus vaginaku, dia mengocok sambil meremas buah dadaku. Bayangan bercinta dengan tamu sebelumnya tiba tiba melintas datang dan pergi, mulai dari Doni lalu berganti dengan Pak Napit dan berganti lagi dengan Pak Ade, mereka silih berganti hinggap di pikiranku, membuatku makin bergairah melayani Pak Bambang seakan aku bercinta dengan mereka, terutama Pak Napit, tamu terhebat dalam 3 hari terakhir ini. Tiba tiba aku tersadar ketika Pak BAmbang berteriak orgasme dan kurasakan denyutan penisnya memompakan sperma di vaginaku, kubuka mataku dan aku kembali ke alam nyata dangan Pak BAmbang masih menyetubuhiku sedang mengisi vaginaku dengan spermanya, terasa hangat dan penuh. Aku tersenyum menyadari ketololanku. Setelah kubersihkan penisnya dengan sprei, dia langsung telentang di sampingku dengan napas yang ngos-ngosan. “Bapak hebat, bisa tahan lama seperti itu” aku memuji “Kamu juga makin lama makin hebat, lebih hot dari kemarin”
Kubiarkan sperma yang membanjir di vaginaku menetes keluar mengenai sprei. Pak aku mau tanya tapi jangan marah atau tersinggung ya?” tanyaku sambil menyandarkan kepalaku di dadanya. “Mengenai apa?” jawabnya sambil mengelu elus rambut dan punggungku. “Emm mengenai anu, piala bergilir” aku agak ragu melanjutkannya. “Emang kenapa? Nggak suka ya?”. “Bukan begitu sekedar menjawab rasa penasaranku, itu kalo bapak nggak keberatan sih”. “Penasaran kenapa?”. “Aku pikir Bapak Bapak itu bisa booking cewek sendiri tanpa harus menunggu menang dulu, kenapa jadi dipersulit sih”. “Oh itu toh, memang benar sih, tapi sensasinya kurang dan tidak ada perjuangan kalo begitu”. Akhirnya Pak Bambang menceritakan aturan permainan dengan teman temannya, sebenarnya semuanya ada 37 orang yang mengikuti aturan itu, tapi sebagian besar sedang main di Bali, Yogja, Bandung dan Jakarta sendiri. Pada dasarnya aturan itu sama dengan berjudi, tapi dirupakan dalam bentuk yang lain dengan prinsip winner take all. Pemenang berhak mendapatkan free hotel plus piala bergilir yang ditentukan oleh seluruh peserta tanpa ada seorangpun yang menolak pilihan Piala itu.
Nilai dari Piala Bergilir itu berdasar kesepakatan taruhan, bisa
semua dirupakan Piala bisa juga sebagaian. Kalau ketemu kelompok yang
lebih gila bahkan Piala Bergilirnya 2 cewek sekaligus, tentu saja
taruhannya juga lebih besar. Namanya Piala Bergilir, harus cuma satu
untuk diperebutkan selama even, yang biasanya 2-3 hari berlangsung. Bagi
yang kalah, selamat gigit jari dan tidak boleh mencari piala lain
selama even itu berlangsung, kecuali setelahnya. Kalau ini dilanggar
untuk selanjutnya dia tidak akan diundang lagi, tapi siapa yang tahu.
Tentu saja aturan ini tidak menghapus taruhan lainnya diluar yang ini. “Kamu adalah orang kedua yang kami pilih setelah cewek yang pertama
datang kami tolak karena Pak Napit tidak setuju dan aku beruntung bisa
mendapatkanmu secara gratis bahkan 2 kali”. Aku bingung mendengar penjelasan Pak Bambang, tak menyangka ada perilaku
sekelompok orang seperti ini, padahal mereka dari keluarga yang
bahagia, paling tidak itu yang kutangkap dari pembicaraan telepon Pak
Bambang dan Pak Napit kemarin. Cerita Pak Bambang diakhiri dengan kuluman di putingku, tanpa
membersihkan sperma di vaginaku dia kembali mengocokku dengan keras.
Babak ini dengan lebih santai dia menyetubuhiku, bahkan sempat berpindah
dari ranjang ke sofa, dengan sabar kulayani semua keinginannya hingga
dia bisa bertahan hingga lebih dari 15 menit sebelum mencapai
klimaksnya. Berkali kali dia mengucapkan terima kasih karena telah
membuatnya merasa perkasa di usianya itu.
Pukul 7 malam kami berpisah di lobby hotel, dia naik taxi ke Juanda
dan aku ke tempat parkir bersiap pulang. Tiba tiba aku teringat si Doni
yang tadi siang telah membajakku. Kuhubungi HP-nya sambil berharap dia
bersedia melanjutkan acara tadi siang sekalian menuntaskan nafsuku yang
tidak tersalurkan saat menemani Pak Bambang tadi, 2 babak tanpa orgasme
tentu siksaan tersendiri yang susah untuk dibawa tidur dalam keadaan
birahi tinggi, meskipun itu sudah sering sekali terjadi. “Don, kita lanjutkan yang tadi siang yuk” ajakku langsung. “Kenapa?, si tua itu nggak bisa muasin kamu ya” ejeknya. “Udah jangan cerewet, mau nggak?”. “Sorry aku nggak bisa sayang, aku udah mau pulang nih, nggak tahu temenku kayaknya mau deh”. Agak kecewa juga aku mendengar ketidakbisaannya itu, apalagi melihat
temannya yang kelihatannya masih lugu banget, mana bisa muasin aku. “Oke dia mau asal nggak buru buru” lanjutnya kemudian. “Terserah deh sampai pagi juga boleh” tantangku kepalang tanggung. Aku yang masih tergantung birahi tinggi langsung saja menyetujuinya dan
turun dari mobil kembali ke hotel menuju kamar tempat Doni membajakku
tadi. Sesampai di kamar, Doni yang sudah bersiap pulang, mencium pipiku. “Kamu temanin dia malam ini, jangan bikin kecewa, jangan lupa mandi dulu biar bersih!!” pesannya sebelum meninggalkan kami. “Beress Boss” godaku. “Jangan lupa nanti uangnya kasih ke dia, itu sampai besok pagi” teriak Done ke temannya sebelum menutup pintu.
Sepeninggal Doni kami menjadi canggung, ternyata temannya itu tidak terlalu suka bicara seperti Doni, aku harus bisa membuat suasana akrab. Beberapa pertanyaan hanya di jawab dengan pendek, terlihat dia cukup nervous hanya berduaan di kamar. “Aku belum pernah selain sama pacarku” akhirnya dia berterus terang. “Itupun baru beberapa kali” lanjutnya. Aku sebenarnya tidak terlalu terkejut melihat dia begitu canggung ketika kudekati. “Masih mau terus nggak, aku nggak mau kamu terpaksa melakukannya, ntar kecewa dan Doni marah” kucoba bersikap netral. Dia diam saja, begitu juga ketika kutumpangkan tanganku ke pahanya, tidak ada reaksi, tapi dia juga tidak menolak ketika kucium dan kuelus selangkangannya beberapa saat kemudian. Terus terang, inilah pertama kali aku melayani tamu selugu dia, kalau pengakuannya benar. Dan aku belum punya kiat khusus menghadapinya, semua tamuku selama ini adalah para jawara dan expert dalam perselingkuhan dan permainan sex, jadi tak perlu lagi memandu, semua berjalan secara otomatis.
Sepuluh menit terbuang sia sia, dia masih belum memberikan respon
positif atau dia belum berani menyentuhku meskiupun selangkangannya
sudah keras kuremas remas dari luar. “Aku mandi dulu ya, mau ikut nggak” teringat aku pesan Doni tadi
sekalian ingin memancingnya lebih jauh, dia hanya diam tanpa jawaban
ketika aku beranjak dari sisinya menuju kamar mandi. “Koh, sini tolong lepasin ini dong” aku teriak dari kamar mandi memancingnya untuk membantu membuka kaitan bra. Kulihat tangannya agak gemetar saat membuka kaitan bra, apalagi
kaitan yang ada didepan itu memang nyangkut. Keringat dingin membasahi
dahinya. Kuusap dengan mesra. Begitu kaitan bra terlepas, terpampanglah
keindahan bukit di baliknya, entah setan darimana tiba tiba muncul
keberaniannya atau nafsu yang sudah tak tertahan lagi. Diremasnya kedua
buah dadaku dan langsung dikulumnnya putingku dengan penuh nafsu dan
ganas, aku kaget akan serangannya yang tak terduga. Bersamaan dengan itu
tangannya menggesek gesek selangkanganku yang masih tertutup celana
dalam mini yang hanya menutupi bagian segitiga di depan. “Kita mandi dulu yuk” bujukku sambil mendesah tapi dia tak menghiraukan ajakanku malah makin memperkuat sedotannya.
Maka akupun membalas dengan melucuti pakaiannya menyisakan hanya celana dalam, dari remasan tadi aku perkirakan penisnya lebih besar dari Doni dan kelihatannya dugaanku benar. Aku merosot turun berlutut didepannya, saat kutarik celana dalamnya sejenak kutertegun, dugaanku ternyata salah, penisnya tidak lebih besar dari Doni tapi jauh lebih panjang, mungkin 17 cm, suatu ukuran yang jarang dimiliki seorang Chinese, paling tidak itu dari pengalamanku selama ini. “Kenapa? Kecil ya?” katanya melihat ketertegunanku. “Bukan kurang besar tapi terlalu panjang” godaku sambil mengocoknya, penis itu terlihat indah dengan warna kemerahan belum disunat, segera kujilati dengan gemas, dia mulai mendesis sambil meremas rambutku. Pantatnya mulai ikutan bergoyang ketika kumasukkan ke mulutku, goyangannya mengocok penis itu di mulut, desahannya makin keras. “Uff, kita kedalam aja” ajaknya Dia menelentangkanku di ranjang dan langsung menggumuli tubuhku, melumat bibirku, menjilati leherku, mengulum rakus buah dada dan putingku, aku mendesah menggelinjang geli dan nikmat. “Gantian” bisikku setelah beberapa lama merasakan cumbuan ganas darinya, kudorong dia telentang disampingku.
Segera kulahap penisnya yang panjang, hanya separuh yang bisa masuk, kepalaku turun naik diselangkangannya. Kunaikkan kakinya lalu kujilati kantong bola hingga ke lubang anus, dia menjerit keras tak menyangka kuperlakukan seperti ini, semakin dia menjerit semakin aku bergairah. “Udah udah aahh” desahnya, mungkin sudah tak tahan lebih lama lagi. Aku tersenyum, telentang disampingnya. Dia mencium bibirku dan mengatur posisinya di antara kakiku, penisnya disapukan ke bibir vaginaku dan mendorongnya pelan pelan memasuki celah sempit kenikmatan. Penis keempat yang mengisi vaginaku di hari ini. Terasa begitu lama perjalanan sebelum semua tertanam, rahimku serasa ditusuk keras, aku menggeliat. Dengan halus dia mengocokku, berlawanan dengan cumbuan ganasnya tadi, ditatapnya tajam mataku seakan ingin melihat seberapa nikmat yang kualami. Kubalas tatapannya, baru kusadari kalau dia masih begitu muda, paling belum 25 tahun, atau mungkin malah masih kuliah, suatu perbedaan mencolok dibandingkan dengan Pak Bambang yang seusia Papaku.
Meski tidak terlalu ganteng tapi dengan wajahnya yang putih bersih
layaknya chinesse, tak segan aku memandangnya apalagi semburat semu
merah menghiasi wajah penuh birahi itu. Dia masih mengocokku dengan
irama tetap, kami masih beradu pandang, kalung emasnya sering berayun
mengenai mukaku. Tubuhya kurarik dalam dekapanku, dan kamipun saling
beradu bibir dan lidah. Kocokannya serasa menyodok rahimku, terasa
sedikit nyeri tapi banyak nikmat. Namun sayang, tak lebih 5 menit tubuhnya sudah mengejang pertanda
orgasme, padahal aku baru mulai mendaki menuju puncak, sedetik kemudian
denyutan kuat menghantam vagina dan rahimku, aku teriak kaget karena tak
menyangka semprotan spermanya begitu kuat dan banyak, cairan hangat
serasa membanjir di celah celah liang kenikmatanku. Dia langsung
mencabut penisnya begitu denyutannya habis, beranjak menuju kamar mandi.
Tapi aku mencegahnya, aku tahu dia ingin segera membersihkan penisnya,
kuraih dan kumasukkan ke mulutku penis basah yang sudah mulai lemas, tak
kuhiraukan jeritan protesnya karena kutahu dia pasti tak keberatan,
entah kenapa ada keinginan untuk melakukan yang aku yakin belum pernah
diberikan pacarnya atau apa yang belum dialaminya.
“Sekarang boleh kamu cuci” kataku setelah menjilat habis sperma yang ada, tapi dia nggak jadi ke kamar mandi. “Nggak usah, udah bersih kok” katanya sambil tersenyum puas menatapku. Kami istirahat cukup lama sambil makan malam di kamar, dia tak pernah mengijinkanku mengenakan penutup tubuh, bahkan handuk yang menutupiku setelah mandi dilepasnya. “Body kamu bagus” katanya saat kami makan, masih telanjang. “Tapi tak sebagus pacarmu yang masih mahasiswa itu kan” godaku asal teMbak aja. “Rupanya Doni banyak cerita ya”. Lebih satu jam kami bersantai, suasana tidak sekaku tadi, bahkan dia menunjukkan foto pacarnya, pretty chinesse girl. “Tapi tidak se-sexy dan sepintar kamu” komentarnya saat aku memuji kecantikannya. Saatnya untuk mulai lagi, babak kedua kami lakukan di sofa, ternyata dia mengaku belum pernah melakukan selain di ranjang, aku bertekad memberi yang belum pernah dia rasakan. Penisnya benar benar menggelitik rahimku ketika aku bergoyang di pangkuannya, serasa begitu panjang seakan tembus hingga dada, tak kupedulikan rasa nyeri yang timbul karena rasa nikmatnya jauh melebihi rasa sakit itu. Kali ini dia bertahan lebih lama, kami berganti posisi, aku duduk di sofa menerima kocokannya, kami saling berhadapan hingga dia bisa bebas menciumi bibir dan leherku.
Mungkin karena sering melihat BF, kini kreatifitasnya timbul, dia
mulai berani meminta posisi yang dia mau. Justru aku semakin bergairah
melayani improvisasinya, orgasme pertama kuraih saat dia mengocokku dari
belakang, masih di sofa, dan kudapatkan kembali hanya berselang
beberapa menit ketika dia mengocokku saat aku telentang di meja, ini
semua hasil improvisasinya. Lebih 25 menit permainan babak kedua sebelum
dia menyudahi dengan denyutan hangat beberapa detik setelah orgasme
keduaku. Akupun terkulai lemas dalam kelelahan yang hebat, tamuku
terakhir ini ternyata bisa memenuhi kehausanku seharian, bahkan melebihi
harapan, berat rasanya mengangkat tubuh yang masih tergolek di atas
meja.
Malam itu dia benar benar mewujudkan semua fantasi terpendamnya
selama ini, tanpa memperhatikan rasa capekku dia mencumbuku semalaman,
seakan tak ada hari esok. Tak perduli apakah aku sudah tertidur atau
masih bangu, begitu dia terbangun dari tidurnya langsung menindihku dan
mengocoknya dan kalau aku masih malas diapun melakukannya dengan posisi
miring. Semua kulayani tanpa protes karena pada dasarnya aku juga
menikmatinya, hingga kami benar benar tertidur. Aku tak bisa menghitung
lagi berapa babak permainan di malam itu, dia seperti kuda liar yang
lepas dari kandang dan bertemu kuda betina, ditambah stamina darah muda
yang prima membuat malam menjadi semakin panjang. Aku pulang pukul 10 pagi setelah Doni datang menjemput temannya untuk
melanjutkan kulakan ke Tanggulangin. Sesampai di tempat kost barulah
kurasakan nyeri yang hebat di vaginaku, luka saat melayani Pak Napit
semakin lebar dengan perlakuan tamuku sepanjang malam (sampai saat itu
aku tidak tahu siapa namanya, karena memang tidak dikenalkan dan kami
terlalu bernafsu hingga tak sempat saling menanyakan nama, bagiku itu
sudah sering terjadi).
Sejak kejadian dengan para golfer tersebut, aku sering dijadikan
piala bergilir di antara mereka, meski anggotanya tidak sama tapi
permainannya hampir sama. Baru kutahu ternyata komunitas para golfer
berperilaku seperti itu banyak di Surabaya dan aku menjadi salah satu
favorit piala itu. Karena booking-an seperti itu uangnya besar dan
hampir semuanya puas dengan pelayananku, maka GM memberiku hadiah satu
set perangkat Golf “Mizuno” dan membiayaiku untuk kursus Golf. “Pasarnya
menjanjikan” katanya. Hingga cerita ini dibuat tak pernah sekalipun aku
turun ke lapangan menggunakannya, meskipun permainan Piala Bergilir
masih sering kuterima.