Tamuku kali ini sungguh lain, berbeda dengan tamuku sebelumnya, aku
diminta datang ke kamarnya yang kebetulan atau memang sengaja berada di
satu hotel, cuma letaknya agak berjauhan. Om Lok berpesan supaya aku
berpakaian resmi seperti halnya orang kantoran, tentu saja bukan masalah
bagiku karena di samping koleksi bajuku dan gaunku memang banyak, juga
Om Lok selalu menyediakan gaun dan segala perlengkapan pakaian tidur
yang sexy, termasuk urusan bra dan celana dalam, karena dia memang sudah
mengerti ukuranku dan selera para tamu, bermacam busana baik yang
resmi, santai, gaun pesta, gaun malam, baju tidur, lingerie semuanya
terpajang di lemari kamarku seperti layaknya butik.
Aku sih tak keberatan dan senang senang saja dengan pengaturan
seperti ini, toh meski aku tidak suka busana yang dia belikan, aku kan
tidak harus pakai tiap hari dalam waktu yang lama, paling juga saat
menemani tamu, itupun disesuaikan dengan selera atau permintaan tamu,
ada yang minta supaya aku mengenakan busana sexy, pakaian santai,
pakaian tidur, busana resmi, pakaian ketat, tanpa pakaian dalam, bahkan
ada yang memintaku langsung telanjang ketika menyambutnya, biasanya
kalau sudah lebih dua kali bertemu, permintaan yang aneh-aneh timbul,
mungkin karena sudah merasa saling mengenal jadi mereka juga nggak segan
untuk memintaku tampil berbeda, itu semua kuturuti demi kepuasan
tamuku, toh bagiku nggak ada bedanya, toh semua itu akhirnya dibuka
juga, toh akhirnya aku harus telanjang di depan mereka, jadi apalah
bedanya semua itu bagiku, tapi sangat beda bagi mereka yang memintaku
seperti itu untuk memenuhi fantasinya, yang tidak didapat di rumah.
Hari itu sebenarnya cukup melelahkan bagiku, karena mulai pagi jam 10
sudah menerima tamu, dan tamuku ketiga baru selesai jam setengah tujuh
malam, kini aku masih harus melayani tamuku keempat hari itu. Meskipun
dari ketiga tamuku tadi hanya satu yang bisa membuatku orgasme, tapi
justru dari tamu terakhirlah aku mendapatkannya, bahkan lebih dari 2
kali, jadi capeknya masih terasa hingga malam hari. Ingin aku menolak,
tapi karena Om Lok memberiku iming iming pembayaran lebih karena tamuku
ini seorang pejabat, Dirjen, maka kuturuti saja karena aku juga tak
ingin mengecewakan Om Lok dan pasti kalau aku menolak gadis lain yang
akan menggantikannya, disamping itu keterangan dari Om Lok bahwa Pak
Dirjen ini sudah tua, mungkin sudah lebih 60 tahun, jadi dua kali
usiaku, “jangan jangan seusia opa-ku” pikirku, tentunya tak perlu kerja
keras melayaninya, paling juga nggak lebih lima menit sudah KO dan
rasanya seusia dia tak mungkin melakukannya dua kali.
Jam 19:45 Om Lok sudah menjemputku untuk di antar ke kamar Pak Yono,
sang Dirjen, kukenakan pakaian kerja kantoran, rok resmi dipadu dengan
blus You Can See yang ditutupi blazer biru tua, seperti orang ke kantor.
Ini adalah pertama kali aku “keluar kandang”, menemui panggilan tamuku
di kamarnya, tidak seperti biasanya aku melayani mereka di kamarku,
bercinta dan bercumbu di ranjangku, kembali ada rasa bimbang dan gugup
menggelayut di batinku, sepanjang jalan ke kamar Pak Yono kepercayaan
diriku makin mengecil, seperti anak kecil pertama kali keluar dari
rumah, takut tersesat dan merasa tidak aman, padahal tidak jarang kalau
lagi suntuk di kamar aku jalan jalan sekitar Lobby, atau berenang di
pagi hari sebelum “jam kerja” dimulai.
Ketika sampai di kamar suite Pak Yono, ternyata ada beberapa tamu
yang sedang ditemui beliau, ada lima orang, dua diantaranya chinese,
yang lainnya masih mengenakan seragam dari instansi tertentu. Mengetahui
masih ada tamu, Om Lok mengajakku menunggu di lobby atau di kamarku,
tapi salah seorang chinese tadi menghampiri Om Lok, mereka berdua bicara
menjauh dariku, kemudian chinese tadi masuk kamar sebentar dan kembali
menemui kami seraya mempersilahkan masuk. Aku langsung dikenalkan ke Pak
Dirjen, aku kaget ketika mengetahui yang mana Pak Yono, benar dugaanku,
orangnya seusia Opaku, yang jelas lebih dari 60 tahun, ada sedikit rasa
jijik melihat orang sudah setua itu dan sudah bau kubur masih suka sama
wanita muda. Aku dipersilakan duduk di antara mereka di kamar tamu,
mereka membicarakan masalah proyek angkutan darat di Jawa Timur.
Sambil bicara sesekali para laki laki itu melirik ke arahku, aku jadi
canggung dan jengah mendapat perhatian dari mereka, entah mereka tahu
atau tidak siapa aku ini, tapi aku yakin ingin mereka sudah
mengetahuinya, rasanya aku ingin pergi dari ruangan itu, lebih baik aku
menunggu di kamarku dari pada jadi kambing bodoh di antara laki laki
dengan sorot mata yang ingin menelanjangiku itu. Untunglah Pak Yono cepat tanggap, aku dipersilakan menunggu di kamar
tidurnya, ada rasa canggung berada di kamar tidur orang lain, meski itu
kamar hotel tetapi beberapa barang pribadi Pak Yono menggeletak di situ,
ada bungkusan menggeletak di tempat duduk satu satunya yaitu sofa
panjang, aku tak berani menyentuh barang pribadi beliau, sehingga mau
tak mau aku harus duduk di ranjang menunggu beliau masuk. Menunggu adalah siksaan yang berat, lebih setengah jam aku
menunggunya tapi tak nongol juga, sementara badanku yang capek makin
terasa capek dengan hanya duduk tak nyaman di ranjang Pak Yono sambil
nonton MTV di TV, akhirnya kuberanikan diri rebahan di ranjang itu,
entah sudah berapa lama aku menunggu hingga akhirnya ketiduran di
ranjang Pak Yono dengan pakaian masih lengkap.
Dalam tidurku, aku merasa sekujur tubuhku mendapatkan rangsangan
tanpa sadar dan kemudian ada beban berat menindih dadaku, membuatku
susah bernafas, ketika kubuka mataku Pak Yono sudah menindihku sembil
menciumi pipiku, wajah jeleknya tepat di depan wajahku, aku kaget, mau
marah dan teriak tapi untunglah kesadaranku segera pulih. “Eh Bapak, mengagetkanku saja, maaf Pak aku ketiduran”, kataku segera menghilangkan kekagetanku. “Nggak apa, aku yang minta maaf membuatmu menunggu terlalu lama”,
jawabnya tanpa beranjak dari atas tubuhku, bagian kejantanannya
ditekankan di selangkanganku yang ternyata kakiku sudah terbuka dengan
rok yang tersingkap di perut sehingga menampakkan celana dalamku, dua
kancing atas bajuku sudah terbuka sehingga bra bagian buah dadaku sudah
bisa dinikmati, rupanya aku terlalu lelap tidur, mungkin Pak Yono sudah
menggerayangi seluruh tubuhku saat aku tidur. “Orang tua kurang ajar”, pikirku tapi tetap menampakkan senyuman di
bibirku sambil memeluknya, baru aku tahu ternyata Pak Yono sudah melepas
pakaiannya dan tinggal celana dalam yang menempel di tubuhnya. Mukanya yang jelek dan hitam sudah menempel di pipiku, menciumi dan
menjilati leherku, membuatku makin jijik dibuatnya, digumuli orang setua
beliau, opa-ku saja tak pernah menciumiku sebanyak itu. “Aku lepas baju dulu ya Pak biar nggak kusut”, pintaku
Seperti terlepas dari beban berat ketika tubuh Pak Yono beranjak dari
tubuhku, beliau melarangku ketika aku mau melepas baju di kamar mandi,
dengan terpaksa dan dipenuhi perasaan marah kulepas penutup tubuhku satu
persatu di depannya, hingga aku benar benar telanjang bulat di
hadapannya. Begitu melihat tubuh telanjangku, beliau langsung menarikku di
pelukannya, kembali wajah jeleknya menyusuri seluruh tubuhku, tangannya
dengan bebasnya menjamah seluruh daerah erotisku, tangannya meremas
remas pantatku kemudian beralih ke buah dadaku dan dengan rakusnya
beliau mengulum putingku, aku makin muak melihat tingkah lakunya.
Kemuakanku makin bertambah ketika beliau berada di antara kakiku,
dengan mata jelalatan diamatinya vaginaku, kebetulan habis aku rapihkan
bulu rambutnya sehingga tampak indah, beliau memandangku dengan
tersenyum lalu secepat kilat lidahnya langsung mendarat di klitorisku,
aku menjerit kaget dan marah, tapi beliau tak memperdulikanku, lidahnya
sudah mempermainkan klitorisku, kemudian menyusuri daerah kewanitaanku,
disapukannya lidah tuanya ke bibir vagina. Tak lama kemudian jari
tangannya sudah mulai ikutan mempermainkan sekitar vaginaku,
dimasukkannya satu jari kemudian dua jari ke liang vaginaku, dan
mengocokknya. Jujur harus aku akui bahwa permainan lidahnya sungguh
menghanyutkanku, mungkin karena pengalamannya yang sudah banyak sehingga
beliau bisa membuatku ikut terhanyut meski sebenarnya aku tidak
menghendaki.
Sungguh aku membenci diriku sendiri ketika tanpa sengaja desahan
nikmat keluar dari mulutku, permainan lidahnya terlalu nikmat bagiku,
desahanku makin sering keluar tanpa kontrol, kupegang kepala Pak Yono
dan kutekankan ke vaginaku, gerakan lidah Pak Yono makin ganas dan liar
menyusuri celah celah kewanitaanku. Tanpa kusadari pantatku sudah
bergoyang mengimbangi jilatan Pak Yono, tentu ini membuat beliau makin
menjadi jadi mempermainkan vaginaku, jilatan di klitoris dan kocokan
jarinya secara kompak bermain di vaginaku, memainkan irama birahinya. Pak Yono kemudian menindih tubuhku, kupejamkan mataku ketika beliau
menciumi wajahku, aku jijik melihatnya, ciumannya turun ke leher dan
berhenti di kedua putingku, mengulum dengan rakusnya, aku masih
memejamkan mata, jari tangannya menggosok klitorisku dan mengocoknya.
Meski aku biasa melayani orang yang jauh lebih tua, tapi terhadap Pak
Yono rasanya belum siap, tak seperti biasanya, entah kenapa perasaan
jijik selalu menyelimutiku setiap kali wajah Pak Yono mendekat ke
mukaku.
Pak Yono lalu rebah di sampingku, aku mengerti maksudnya, kugeser
posisi tubuhku di antara kedua kakinya, aku kaget, ternyata kejantananku
masih lemah lunglai, kupegang penisnya yang loyo, kuremas remas untuk
memberikan rangsangan, mulai mengeras tapi masih jauh memenuhi syarat,
belum bisa berdiri sendiri. Dengan menahan rasa muak dan jijik, kubelai
dan kuciumi, belum juga bangun, maka terpaksa kujilati kepala penisnya,
kemudian batangnya hingga ke kantong bola, tetap tidak membuahkan hasil
yang diharapkan, kemudian kumasukkan ke mulutku, semua penisnya yang
loyo masuk ke mulutku sampai hidungku menyentuh rambut kemaluannya,
kukulum dan kupermainkan lidahku di kepala penisnya, berharap segera
“bangkit”, tapi tetap sia-sia, hanya sedikit menegang, bahkan ketika
kusapukan kepala penisnya ke putingku, masih saja tidak ada perubahan.
Aku tak tahu apa yang terjadi, apakah beliau impoten, atau aku kurang
bisa memberikan rangsangan atau memang sudah hilang kemampuan ereksinya,
padahal biasanya hanya dengan pegangan dan sedikit ciuman para tamu
sudah kelocotan mendesah nikmat.
Berbagai upaya kulakukan untuk membuatnya “hidup” tapi tetap tak
membawa hasil, akhirnya kunaiki tubuh Pak Yono, kuatur posisiku di atas
penisnya dan kuusap usapkan menyapu bibir vaginaku, berharap hal ini
memberikan rangsangan, tapi tetap saja penis itu tak bisa bereaksi
secara maximal, kembali kukulum dan kukocok dengan mulutku, aku sudah
kehilangan jurus untuk membuatnya “hidup”, segala kemampuanku sudah
kukerahkan tapi tetap tak seperti yang harapan. “Susah ya nduk?”, katanya, “nduk” adalah panggilan untuk gadis kecil di
jawa, kujawab dengan senyuman terpaksa, sambil kembali memasukkan
penisnya ke mulutku. “Ya sudah sini nduk, kalo memang nggak bisa nggak usah dipaksain, maklum
sudah tua”, katanya sambil menarikku ke atas, rebah di sampingnya. Pak Yono kembali menindihku, bibir dan lidahnya kembali dengan rakus
menjelajah sekujur tubuhku, berkali kali beliau menyapukan penisnya ke
vaginaku dan berusaha mendorong masuk tapi berkali kali pula beliau
gagal melakukannya, entah sudah berapa liter ludah yang digunakan untuk
membasai penis dan vaginaku, toh gagal juga.
Ketika penisnya sudah mulai agak menegang, dipaksanya mendorong
masuk, kubuka kakiku lebar lebar, juga kubantu memperlebar bibir
vaginaku dengan tangan, beliau berhasil memasukkan penisnya dengan
paksa, bagiku tak ada artinya tapi bagi beliau sudah sangat berharga,
merupakan kemajuan yang besar, kurasakan penis itu seperti
“berlari-lari” di vaginaku, tapi tak sampai lima kali kocokan kurasakan
cairan hangat membasahi vaginaku, tak ada denyutan atau semprotan,
sepertinya sperma itu menetes dengan sendirinya, tubuh Pak Yono terkulai
lemas menindihku kemudian berguling dan rebah di sisiku. Beliau miring
memelukku, kaki kanannya ditumpangkan ke pahaku, sedangkan mukanya dekat
telingaku, bisa kurasakan hembusan napasnya menerpa telingaku,
membuatku semakin muak dalam pelukannya. Kami terdiam pada posisi seperti ini, tak lama akupun ikut ketiduran
karena memang sebelumnya sudah kecapekan. Belum kurasakan nyenyaknya
tidurku, tiba tiba kurasakan tangan Pak Yono sudah kembali menjelajah di
vaginaku, digosoknya bibir dan klitorisku dengan jarinya, tentu saja
aku makin risih, kuraih penisnya yang lunglai dan kuremas remas, tetap
seperti tadi lemas tak berdaya.
Baru kusadari, mulailah penyiksaan seksual terhadapku, beliau
menggumuli tubuhku dengan bibir dan lidahnya menjelajah seluruh tubuhku,
aku makin jijik dengan perbuatannya, lebih dari satu jam beliau
memperlakukanku seperti mainan, menjilat, mengulum, mencium, mengocok
dengan jarinya, ingin rasanya kutampar mukanya ketika beliau berada di
selangkanganku, aku hanya menggigit bibirku menahan amarah. Aku tak tahu dan tak bisa memperkirakan bagaimana berakhirnya permainan ini, karena tentunya tidak ada klimaks-nya. Ternyata penyiksaanku tak berakhir begitu saja, sepanjang malam dia
menggerayangi tubuhku yang tetap telanjang, hanya saat dia tertidurlah
penyiksaan itu berhenti tapi begitu terbangun kembali tangan dan
lidahnya menggerayangi sekujur tubuhku, dan itu berlangsung hingga pagi
hari, kurasakan vaginaku panas dan lecet karena gosokan jari tangannya
yang kasar.
Inilah pengalaman terberat dan terburuk yang aku alami selama
menjalani profesi ini, baik saat itu maupun perjalananku selanjutnya,
begitu berat aku memendam perasaan muak terhadapnya. Ketika aku pamit
meninggalkannya, dia memberiku beberapa lembar uang lima puluh ribu yang
menurutku tidak ada artinya, sangat tidak sepadan dengan “pengorbanan
dan service” yang kuberikan, dua kali kecewa olehnya, dalam hati aku
bersumpah tak akan mau menemui dia lagi. Namun sungguh konyol ketika aku
sudah menjadi freelancer, beberapa bulan kemudian, aku kembali
terperangkap mendapatkan tamu beliau, bahkan 2 kali terperosok dalam
kubangan yang sama.
Pengalaman serupa kembali terulang ketika aku menemani Pak Ari, orang
penting di jajaran Angkatan Laut di Armada Timur yang berpusat di
Surabaya, ARMATIM. Diantar Om Lok dan seorang Chinese yang aku tak kenal, kami menyusuri
jalanan Surabaya menuju Hotel Majapahit yang terletak ditengah kota.
Seorang pejabat penguasa kota Jakarta adalah tujuan kami, sebenarnya
bukan dia yang minta tapi Yongki, si Chinese, berhasil membujuk Om Lok
untuk “mengumpankan” aku ke pejabat tersebut, siapa tahu setelah melihat
penampilanku hatinya tergoda, katanya. Aku keberatan kalau nggak pasti
seperti itu, tapi dengan persetujuan bahwa begitu aku keluar kamar, maka
“argo carteran” sudah mulai jalan, akupun mengikutinya. “Kalau dia nggak mau juga, berarti dia laki laki bodoh atau nggak
normal, jangan khawatir, kalau dia nggak mau juga, aku yang akan
booking”, tantang Yongki pada Lok.
Kami langsung menuju kamar suite beliau, ternyata banyak tamu disana
dan juga 2 gadis seusiaku, melihat “sainganku” aku merasa bahwa mereka
bukanlah kelasku apalagi sainganku, nggak level. Aku dan 2 gadis itu
menunggu di ruang tidur, sepertinya mereka memberi kesempatan beliau
untuk memilih gadis yang dia mau, baru kali ini aku diperlakukan
menunggu untuk dipilih, agak malu juga diperlakukan seperti itu,
biasanya tamu sudah ngantri untuk menikmatiku tapi kini aku harus ikutan
antri, tapi toh aku akan dibayar penuh, baik dipilih maupun tidak,
nggak ada ruginya. Aku masih belum tahu siapakah beliau ini, karena banyak orang di
ruang tamu, tak sempat aku mengamati siapa siapa yang hadir disitu terus
masuk kamar tidur. Yongki cuma memberitahu bahwa tamunya adalah seorang
penguasa Jakarta. Lima belas menit kami menunggu ketika Yongki menyuruh
kedua gadis itu pulang, tinggallah aku sendiri di kamar itu.
Aku tak berani rebahan di ranjang atau mulai melepas pakaianku menunggu
kedatangannya, meski aku yakin sudah terpilih, trauma atas perlakuan Pak
Yono tempo hari masih kurasakan. Tinggallah aku, Om Lok, Yongki, pejabat itu ditemani ajudannya,
ternyata beliau adalah Pak Sur, memang dia penguasa yang “punya”
Jakarta, aku sangat mengenalnya dari seringnya beliau muncul di TV. “Ly kamu temani Pak Surya, kalau beliau minta nginap ya ikutin aja”, pesan Om Lok sebelum meninggalkanku berdua dengan beliau. Kulihat wajah dingin beliau seolah tanpa ekspresi menyambutku,
disuruhnya aku duduk di sebelahnya, aroma minyak angin begitu menyengat,
sepertinya beliau lagi tidak enak badan. “Kamu duduk aja di sini, aku nggak tahu apa maunya mereka, kamu disuruh
tinggal ya tinggal aja disini”, katanya dingin tak ada senyum meski
terdengar ramah, memang beliau dikenal tidak bisa tersenyum.
Aku tak tahu harus berbuat apa, nggak mungkin kalau beliau nggak tahu
maksud dan tujuanku berada di kamar ini. Aku diam saja tak berani
bertindak lebih jauh, secara halus sebenarnya ada isyarat penolakannya,
entah kurang cocok denganku atau memang lagi nggak enak badan atau juga
memang nggak suka perempuan, seperti isunya selama ini. “Mau dipijitin Pak?”, aku memberanikan “Nggak usah, sebentar lagi dipakai tidur juga hilang”. Sebentar lagi dipakai tidur? apa berarti dia nggak mau sama aku?,
pikirku, belum pernah kudengar penolakan dari laki laki seperti ini. “Dipijitin sambil tiduran kan bisa cepat tidur Pak”, pancingku mulai mengarah. “Ntar malah nggak bisa tidur, tambah pusing nanti”, beliau tetap menolak halus sambil menggosok minyak angin ke kepalanya. “Sini aku bantuin Pak”. “Gini aja udah enakan kok”.
Berbagai usaha yang mengarah sudah aku lakukan tapi tetap saja keluar
penolakan darinya, aku menyerah, belum pernah kutemui laki laki yang
membiarkanku sendirian seperti ini. Aku jadi serba salah, sepertinya dia
tak mau ditemani tapi nggak mungkin kalau aku meninggalkannya begitu
saja, satu satunya jalan keluar adalah dia menyuruhku pergi, tapi itu
terlalu menyakitkan bagiku, ada perasaan terusir. “Kalau Bapak nggak enak badan dan mau istirahat, aku pulang boleh?”, akhirnya menyerah. “Gini lho mbak, bukannya aku nggak suka kamu, sebagai laki laki normal
aku menyukai wanita apalagi secantik kamu, tapi itu bukan berarti aku
harus tidur sama kamu kan? Kalaupun aku mau ingin rasanya ngobrol
denganmu sampai pagi, tapi aku lagi nggak enak badan jadi kamu ngerti
kan?”.
Beliau mengatakan banyak hal yang sudah tak kudengarkan lagi, aku
hanya menunduk malu, melihat pintu keluar sudah terbuka lebar, cuma
sekarang bagaimana meninggalkan beliau tanpa ada yang sakit hati,
terutama aku. “Kalau begitu Bapak istirahat saja, mungkin kalo aku disini Bapak
terganggu istirahatnya, aku pulang saja gimana?”, tanyaku sambil menatap
matanya yang tajam berwibawa, tak sanggup aku menatapnya lebih lama
lagi. “Kamu nggak usah tersinggung, aku memang nggak biasa melakukan ini”, tetap sopan meski tanpa senyum.
Akhirnya kutinggalkan beliau sendirian di kamar tanpa terjadi apa
apa, dalam hati aku menghargai dan hormat pada sikap beliau, tak tega
juga kalau memaksa merayu dia untuk bertindak lebih jauh. Kulihat Om Lok
dan Yongki masih duduk di Lobby bersama si ajudan, segera kuhampiri
mereka dan kuceritakan yang terjadi. “Nah, aku menang”, teriak si ajudan dan kulihat Om Lok memberikan
beberapa lembar 50 ribuan ke ajudan itu. Ternyata mereka taruhan, Om Lok
dengan percaya diri bertaruh bahwa aku berhasil meruntuhkan Imannya,
dia kalah. Pak Sur telah menyuruhku pulang, berarti aku harus menemani
Yongki, bagiku nggak ada masalah toh dengan Yongki atau lainnya sama
saja bagiku, tak ada yang istimewa. “Berarti memang rejekimu”, kata Om Lok pada Yongki.
Tak kusangka ternyata Yongki masih punya “Plan B”, kembali aku
disodorkan pada pejabat lainnya yang tak kalah tinggi pangkatnya,
seorang laksamana di Angkatan Laut wilayah Timur, ARMATIM, namanya Pak
Ari, entah ada acara apa banyak penggede negeri yang menginap di hotel
ini. “Kalau dia nggak mau juga, baru itu jatahku, tapi rasanya dia nggak akan
menolak kok, aku pernah servis dia sih sebelumnya”, katanya. Ternyata benar kata Yonki, singkat cerita akhirnya aku menemani Pak
Ari yang berpangkat Laksamana itu (kalau nggak salah sih), orangnya
tinggi besar agak botak tapi tertutup model rambutnya, meski dia seorang
tentara tapi tutur katanya sopan dan lembut. Sebelum sempat aku berbuat
apa apa, dia sudah membuatkan teh hangat dan menyodorkan ke arahku,
biar segar, katanya. Aku yang biasa melayani agak canggung juga menerima
“kebaikannya”.
Sebelum sempat melepas pakaianku, beliau sudah memijit kakiku, terasa
enak dan nyaman pijatannya, beliau hanya memandangku meringis keenakan.
Aku berusaha mencegahnya lebih lanjut tapi beliau menyuruhku diam dan
menikmati pijitannya, sebenarnya aku menikmati pijitan itu, tapi bukan
tugasnya, adalah tugasku untuk melayani beliau. “Udah Pak, gantian Bapak yang aku pijitin”, desakku. “Ah nggak usah, paling juga pijitanmu pijitan nakal”, tolaknya. Pijitannya sudah mencapai betis dan sebentar lagi ke paha. “Lepas dulu celananya”. “Bapak juga lepas dong”. Akhirnya kulepas piyamanya setelah aku melepas pakaianku,
meninggalkan bikini pink yang semi transparan. Tubuhnya yang tegap tak
menyisakan lemak di perutnya aku kagum dengan postur seperti itu, tapi
tak kulihat sorot kekaguman di matanya melihatku semi telanjang,
sepertinya beliau udah biasa mengamati tubuh seperti ini, justru beliau
memintaku langsung tengkurap karena dia mau melanjutkan pijatannya,
masih mengenakan celana dalamnya. Tak ada salahnya kuturuti, toh beliau
yang mau, bukan kehendakku.
Pijatannya memang menghanyutkan, apalagi ketika tangannya sudah
mencapai paha mendekati selangkanganku, mungkin vaginaku sudah basah
hanya karena pijitan itu. Cukup lama ketika tangannya mencapai pantatku,
beliau melepas celana dalamku, sesekali pijitan itu ke celah celah
selangkangan dan nyerempet ke daerah vagina, makin basah aku dibuatnya.
Bra dilepasnya ketika sampai di punggung, kali ini beliau langsung
memijat ke arah depan, diremasnya buah dadaku yang masih tergencet
tubuhku, dia menolak ketika aku berusaha berbalik, remasan remasan halus
menegakkan bulu romaku, terasa geli geli terangsang mendapat remasan
dari tangannya yang kekar dan berbulu. Aku makin merinding saat kurasakan ciuman di tengkuk dan punggungku,
sementara remasan di dadaku masih lembut. Ciumannya turun ke punggung
lalu ke pantat, tangannya kembali menyelip di antara kakiku, menggosok
bibir vaginaku dari sisi belakang, aku mulai mendesah sambil menaikkan
pantatku secara reflek.
Desahanku semakin keras saat kurasakan lidahnya
menjilati pantat, kutekuk kakiku hingga aku nungging, semakin terbuka
daerah kewanitaanku. Tapi beliau tak melanjutkan jilatannya, beliau telentang disampingku,
meski agak kecewa akupun bergeser di antara kakinya, kulepas celana
dalamnya. Sesaat aku terkaget heran, ternyata kejantanannya tak setegar
penampilan postur tubuhnya, terlalu kecil dibandingkan dengan ukuran
tubuhnya yang tegap dan gagah, agak kecewa aku melihat kenyataan itu,
tapi tak mungkin kuungkapkan kekecewaanku. Kugenggam penis tegangnya,
hanya seukuran genggaman tanganku, segera kucium dan kubelai penis itu,
meski tidak besar tapi tugasku untuk membuatku terpuaskan dan syukur
kalau aku juga bisa ikutan terpuaskan, tapi kali ini rasanya nggak
mungkin.
Lidahku menyusuri penis yang sudah menegang tak lama kemudian
meluncur keluar masuk mulutku, semua batang kejantanannya bisa
kumasukkan ke rongga mulutku sampai hidungku menyentuh rambut
kemaluannya, beliau memegang kepalaku dan membenamkan lebih dalam ke
selangkangannya. Tak lebih tiga menit aku mengulumnya, beliau menarikku ke atas dan
merebahkanku ke ranjang, menciumi pipi dan bibirku, baru kusadari kalau
kami tadi belum sempat berciuman. Lidahnya dengan lembut menyapu kedua
putingku, dikulum dan dipermainkannya dengan lembut. Beliau menolak
ketika tanganku hendak meremas penisnya kembali, tarian lidahnya yang
lembut membuatku mulai melayang.
Aku mulai mendesah sambil meremas remas rambut Pak Ari yang berada di
dadaku, baru kutahu kalau ternyata dia agak botak, tak terlihat dalam
keadaan biasa. Beliau kembali mencium bibirku saat kejantanannya mulai
kusapukan ke bibir vaginaku. Tanpa melepas ciuman kami dia menyodokkan
penisnya masuk, kupeluk dan kucium beliau dengan penuh gairah, berharap
aku juga ikut merasakan kenikmatan dari beliau yang gagah perkasa ini.
Satu, dua, tiga kocokan pelan telah dilakukan, aku merasakan kehangatan
dekapannya, pada kocokan ke lima kurasakan cairan hangat membasahi
vaginaku mengiringi lenguhan panjang Pak Ari, lalu tubuhnya menegang
kemudian melemas telungkup di atasku.
Dia sudah mencapai puncak kenikmatannya pada kocokan ke lima, hanya
beberapa detik penis itu berada di vaginaku, kini sudah mengakhiri
kenikmatan itu, tentu saja aku kecewa tapi sekali lagi kekecewaanku tak
mungkin kutunjukkan pada tamuku. Napasnya masih menderu di telingaku,
detak jantungnya seakan mau meledak di dadaku, begitu kencang. Kubiarkan
tubuhnya masih telungkup menindih meski kurasakan agak sesak napasku
terhimpit tubuhnya. “Kamu belum ya”, bisiknya ditelingaku dengan nada seperti sesal. Aku hanya tersenyum, dia memandangku, kulihat tatapan kekecewaan dari
sorot matanya, hilang rasanya ke-angkeran dan ke-gagahan yang tampak
sebelumnya. “Istirahat dulu, mungkin Bapak terlalu buru buru, ntar aku bantu deh”, hiburku. “Habis kamu nggemesin sih”, dia turun dari tubuhku, kami telentang bersebelahan.
Beberapa saat kami beristirahat dan bersantai, kembali aku dibuatkan
teh hangat, bersantai kami nonton TV sambil sesekali beliau mengomentari
acaranya. Tangannya mulai menggerayangi dada dan pahaku, aku diam saja
tak bereaksi terhadapnya, kubiarkan pula saat tangannya mulai meremas,
hanya desahku yang terdengar ketika mulutnya mengulum putingku.
Kubiarkan kejantanannya menegang dengan sendirinya, aku takut kalau dia
terlalu cepat selesai. Namun aku tak bisa hanya mendesah ketika bibirnya
sudah beradu dengan bibir vaginaku, desahanku makin keras, kuremas
rambut dan kuelus kepala botaknya.
Untuk kesekian kalinya seorang Jendral bertekuk lutut di antara kedua
kakiku dengan kepala terjepit di selangkangan dan mulut terkunci di
vagina. Jilatan lidahnya makin ganas, sesekali seakan dia menyedot semua
isi tubuhku dari vagina, aku menjerit nikmat, apalagi jari tangannya
mulai ikutan mengocokku. Beliau berdiri dan menyodorkan penis kecilnya
yang keras menegang, kubelai dan kuciumi dengan manja, sebentar kukocok,
sebentar kuremas, desahnya mulai terdengar penuh nafsu. Tanpa diperintah aku nungging di depannya, di atas sofa, dengan
posisi ini dia punya keleluasaan untuk mengatur permainan. Kurasakan
kejantanannya mulai memasuki vaginaku, aku mendesah pelan, beliau
membiarkan penisnya berdiam di dalam beberapa saat lamanya sambil
mengusap punggung dan pantatku. Aku tak berani menggerakkan pantatku
seperti biasanya, khawatir beliau selesai sebelum waktunya, pelan
ditariknya penisnya dan pelan pula didorongkan kembali, lalu didiamkan
lagi. Sebenarnya ini merupakan siksaat tersendiri bagiku, tapi demi
kepuasan tamuku, tentu tak boleh egois.
Beberapa kali dia melakukan dengan pelan, tarik, dorong dan diam,
diremasnya erat pantatku ketika kucoba mengimbanginya, kuurungkan
gerakanku, hanya terdiam menanti kocokan pelannya. Lima kocokan sudah
berlalu, aku masih tetap mematung dan mendesah menerimanya, tak ada
kenikmatan sama sekali bagiku, tapi mungkin bagi beliau ada kenikmatan
tersendiri, biarlah demi kepuasan Bapak Jendral yang terhormat. Rupanya beliau cukup percaya diri ketika pada kocokan selanjutnya tak
terjadi apa apa, kocokannya mulai cepat dan akupun mulai memberanikan
diri untuk menggerakkan pantatku. Namun seperti sebelumnya, tak lebih
semenit aku menggoyangkan pinggulku mengimbangi gerakannya, dia sudah
teriak dalam orgasme, kurasakan penisnya berdenyut pelan di vaginaku.
Kudiamkan saja sampai dia puas menumpahkan spermanya di vagina. Tak ada
kenikmatan sama sekali yang bisa kudapatkan darinya, kecuali pijitannya.
Kutinggalkan beliau sendirian di sofa setelah membersihkan
kejantanannya, ketika aku kembali dari kamar mandi Pak Ari sudah
telentang di ranjang menanti kedatanganku, kurebahkan tubuhku dan
kusandarkan kepalaku di dadanya yang bidang, terasa ada kedamaian dalam
pelukan tubuh kekarnya, apalagi ketika beliau membelai ramputku sambil
kami bercakap cakap, terasa romantis. Sebenarnya melihat postur tubuhnya
yang terbilang sexy, aku sungguh berharap banyak mendapatkan kenikmatan
darinya, tapi harapanku tinggallah harapan belaka. Lebih dari setengah jam aku dalam pelukannya, beliau mengangkat
daguku, dicium dan dilumatnya bibirku, dengan mesra kubalas kuluman
bibirnya sambil mulai tanganku menggerayang ke selangkangannya. Kuremas
dan kukocok kejantanannya, perlahan mulai menegang meski masih kecil
dalam genggamanku, tak berani mengocok cepat, takut terlalu cepat
berlalu. Kususuri leher dan dadanya, sesekali kukulum putingnya, ciuman
dan lidahku bermain main di dada dan perutnya, kurasakan penisnya mulai
mengeras.
Kembali kepalaku berada di selangkangannya, aku nungging di
sampingnya sambil mencium dan menjilati kejantanannya, akhirnya penis
itu meluncur keluar masuk mulutku tak lama kemudian. Pak Ari mendesah
merasakan kulumanku, semakin kupercepat kocokan mulutku sambil
mempermainkan lidahku di kepala penisnya, tangannya meremas remas buah
dadaku penuh gairah. Aku ingin membuatnya benar benar siap sebelum
kumasukkan penisnya ke vaginaku, namun kembali terpaksa menelan
kekecewaan saat kudengar teriakannya. Segera kukeluarkan penis dari mulutku tapi terlambat, penisnya
berdenyut hanya beberapa saat setelah keluar dari mulutku, sedikit
semprotan mengenai wajahku. Tanpa ragu kusapukan penis itu ke wajahku,
beliau mengerang nikmat sambil meremas remas rambutku, kumasukkan
kembali penisnya ke mulutku, dia mengerang kaget dan segera menarik
kejantanannya dari mulut dan genggamanku. “Ugh.. nakal ya”, katanya, aku hanya tersenyum sambil membersihkan wajahku dengan sprei.
Pukul 2 tengah malam kutinggalkan beliau yang masih terlelap, tentu
saja seijinnya. Si ajudan hanya tersenyum ketika melihatku melintasi
lobby. Aku yang masih terbakar birahi terpaksa harus memendamnya, entah
sampai kapan, sampai kudapatkan kepuasan dari tamuku nantinya, karena
aku sendiri tak tahu siapakah tamuku besok, apakah aku bisa mendapatkan
kepuasan darinya, itulah pertanyaan yang selalu menggelayut di benakku.
Sempat terlintas dalam benakku, apa istrinya bisa terpuaskan dengan
kondisi Pak Ari yang seperti itu, mengingat aku sering melihatnya di TV
betapa cantiknya istrinya meskipun sudah termakan usia, namun masih
menampakkan sisa sisa kecantikannya. Keesokan siang harinya, si ajudan nongol di depan pintu kamarku
dengan di antar Om Lok, rupanya dia iri ketika aku melayani komandannya,
sekarang dia ingin mendapatkan service yang telah kuberikan ke
atasannya malam sebelumnya.
Tentu saja aku terkaget, tapi apa salahnya sejauh dia bisa membayarku
toh tak ada bedanya. Ternyata dari dialah akhirnya kudapatkan kepuasan
dan orgasme yang berulang ulang, meski pangkatnya masih kapten tapi
permainannya bahkan melebihi si laksamana yang hanya mampu bertahan tak
lebih dari semenit. Itulah manis, pahit dan getirnya menjalani profesi ini, meski tak
banyak frekuensinya tapi cukup menyiksa untuk dilakoni. Banyak kisah
seperti ini yang aku jalani, bahkan tak jarang juga dari mereka yang
masih muda, tentunya merupakan siksaan tersendiri bagiku, mungkin akan
kutuangkan dalam kisah kisah tersendiri.