Selama perjalanan menjalani kehidupan sebagai seorang Call Girl,
banyak kualami bermacam perilaku sexual, banyak kupelajari kehidupan
yang sama sekali tak pernah terlintas sebelumnya, mungkin sebagian besar
masyarakat menyebut kelainan sexual, sebagian lagi menyebut gaya hidup
bahkan sebagian lainnya menyebut petualangan, terserah dari sudut mana
mereka memandang, tapi bagiku semua itu adalah expresi naluri liar yang
ada dalam diri manusia. Sudah beberapa kali aku melayani tamu yang
mempunyai fantasi sexual yang liar, mereka minta dilayani 2-3 wanita,
meskipun sebenarnya kebanyakan dari segi fisik tidak mampu, tapi fantasi
untuk diperlakukan bak raja mengalahkan logika mereka. Sore itu seperti biasa aku sudah meluncur dari satu hotel ke hotel
lainnya, dari satu ranjang ke ranjang lainnya, dari pelukan satu laki
laki ke laki laki lainnya. Sebenarnya tamuku kali ini bukanlah seperti
umumnya, dia mengaku bersama istrinya ingin main bertiga, katanya, ini
adalah kali kedua aku melayani suami-istri (baca: “Ada Apa Dengan
Cinta?”).
Meskipun aku sudah ‘kebal’ dengan perilaku aneh, tapi aku masih belum
bisa mengerti mengapa seorang istri membiarkan suaminya bercinta dengan
wanita lain, di hadapannya pula, bahkan ikutan terlibat, tapi apa
peduliku sejauh mereka membayar sesuai kesepakatan bagiku tidak ada
salahnya. Aku bukanlah seorang bi-sexual yang bisa melayani laki laki dan
perempuan, aku juga cukup sering melayani seorang laki laki bersama
gadis lainnya, tapi dengan sepasang suami istri sebenarnya memberikan
sensasi yang jauh lebih tinggi daripada sekedar permainan bertiga
umumnya. Ketika sampai di kamar yang kutuju, istrinya, seorang wanita berkulit
putih yang tidak terlalu cantik menyambutku di pintu kamar hotel di
jalan Basuki Rahmat, usianya kutaksir awal 40-an tapi bodynya masih
bagus seperti layaknya gadis 20-an, suaminya kelihatan acuh menyambut
kedatanganku, mungkin berusia 50 tahunan, cukup jauh perbedaan mereka. “Mas, ini Lily sudah datang nih”, kata si istri pada suaminya yang hanya melirikku sambil nonton TV. “Hmm.., langsung aja suruh dia mandi”, perintahnya dengan angkuh tanpa melihatku.
Agak ragu juga aku melihat penerimaan suaminya seperti itu, mungkin dia tidak cocok denganku atau bagaimana, aku nggak tahu. Istrinya hanya melihat dan tersenyum ke arahku seraya menggandengku ke kamar mandi. “Mandi dulu lalu kenakan ini” kata si istri menyerahkan piyama batik yang di ambil dari lemari. “Bapak baik baik saja Mbak? kalau dia nggak cocok sama aku, lebih baik nggak jadi aja deh daripada dipaksain, ntar nggak bisa enjoy”, tanyaku melihat keangkuhan suaminya. “Dia emang begitu, dingin dingin mau, lihat aja nanti, percaya deh sama aku”, jawabnya meyakinkan. Si istri ternyata tidak keluar ketika aku mulai melepas kaos dan celana jeans-ku, dia malah ikutan melepas pakaiannya sambil melihatku mandi. “Maaf Mbak, aku nggak bisa melayani Mbak”, kembali aku menegaskan posisiku ketika kulihat dia sudah hampir telanjang. “Huss, aku juga nggak mau, jangan pikirkan itu, yang penting suamiku puas” “Maass, mau ikutan mandi bareng nggak”, teriak istrinya dari kamar mandi, namun tak ada jawaban dari suaminya, bahkan sampai teriakan ketiga juga tidak terdengar jawaban. “Body kamu bagus, pasti dia cepat mabok kepayang”, komentarnya saat melihatku mandi.
Selesai mandi aku tak jadi mengenakan piyama, aku dan si istri hanya
berbalut handuk di dada, kami keluar bersamaan. Ternyata si suami sudah
berbaring di atas ranjang, hanya mengenakan celana dalam, si istri
memandangku penuh arti lalu menganggukkan kepala, aku segera mengerti.
Tanpa rasa segan pada istrinya, aku menyusul suaminya ke ranjang, tapi
sebelum sampai ke ranjang, si istri menarik lepas handukku hingga aku
telanjang di depan suaminya. “Wow, kamu cantik dan sexy dengan payudara yang indah”, komentar suaminya melihat tubuh telanjangku. Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya, langsung berjongkok di antara kedua kakinya, kuraba raba pahanya, terlihat kejantanannya yang menonjol dari balik celana dalamnya, sengaja kuperlambat irama permainan, tidak segera menyentuh kejantanannya. “ciumi dadanya Ly, dia senang diperlakukan seperti itu”, bimbing istrinya yang duduk di samping suaminya.
Segera kunaiki tubuh si suami, kuciumi pipi dan lehernya, kujilati putingnya, lidah dan bibirku turun terus menyusuri dada dan perutnya, tanganku mulai meraba dan meremas remas kejantanan yang semakin keras. Mereka berciuman ketika kulepas celana dalamnya, langsung keluarlah penisnya, tidak terlalu istimewa, biasa saja. Langsung kugenggam dan kuremas remas, kukocok kocok, mereka masih berciuman bibir sambil tangan si suami meremas remas buah dada istrinya. “Kulum dan lumat dia”, perintah istrinya saat melihatku sudah mulai menciumi kejantanan suaminya. Ketika lidahku mulai menyentuh kepala penisnya, kulihat sesaat suaminya melihat ke arahku. “Uff.., ya terus sayang”, komentarnya, entah ditujukan padaku atau pada istrinya. Kami segera kembali saling melumat bibir, kusapukan lidahku ke seluruh kepala dan batang penisnya, bahkan hingga kantong bola, desahannya tertahan di mulut istrinya. Mereka menghentikan ciumannya ketika kumasukkan kejantanannya ke mulutku, keduanya melihat bagaimana penis itu menerobos masuk di sela sela bibir manisku lalu meluncur keluar masuk dengan cepat, tangan si suami memegang kepalaku dan mendorongnya lebih dalam. “Ssshh.., kamu pintar manis.., teruss.., yaa” desahnya kembali.
Tak lama saat si istri menyodorkan putingnya ke mulut suaminya, bergantian mereka mendesah. Aku masih menjalankan tugasku, menjilat dan mengulum saat suami istri itu berganti posisi, mereka membentuk 69, ke empat tangan bergantian mengocok penis itu diselingi jilatan dan kulumanku. Beberapa kali jeritan si suami terucap disertai pujian saat penis itu meluncur di mulutku, istrinya hanya tersenyum dan menatapku tajam setiap kali kulumat ataupun kusapukan lidahku pada kejantanannya, dia seperti menikmati, namun tak sekalipun bibirnya menyentuh penis suaminya, apalagi menjilati atau mengulum, entahlah. Si istri memutar tubuhnya, dia mengatur posisi di atas suaminya, perlahan tubuhnya turun diiringi desahan nikmat, aku yang masih berada di selangkangan dengan jelas melihat bagaimana penis itu pelan pelan menguak liang kenikmatannya sambil kuelus elus kantong bolanya. Tubuh si istri langsung turun naik ketika berhasil melesakkan semua penis si suami, seperti naik kuda dia menghentakkan tubuhnya dengan kuat diiringi desahan desahan erotis.
Aku berpindah ke atas, kuciumi pipi si suami, dia langsung meraih kepalaku dan melumat bibirku dengan penuh gairah, lidah kami saling beradu, tangannya menggerayangi kedua buah dadaku, meremasnya agak kuat, sekuat goyangan istrinya di atas. Vaginaku terasa semakin basah melihat permainan liar istrinya, ingin segera merasakan kenikmatan yang di dapat si istri, tinggal tunggu kesempatan, pikirku. Sambil mendapat kuluman bibir dan remasan, tanganku tanpa sedar mulai mempermainkan klitorisku sendiri, kusodorkan putingku ke mulut si suami, disambutnya dengan kuluman kuluman liar pula, dan akupun ikut mendesah. Ketika kulihat jeritan orgasme dari si istri, aku merasa giliranku segera tiba, kugeser tubuhku di belakang si istri, seperti orang yang sedang mengantri. Meskipun sebenarnya penampilan maupun wajah si suami tidaklah menarik perhatianku, tapi melihat permainan mereka aku jadi ikutan terbawa suasana, dan lebih lagi sensasi bercinta dengan laki laki di depan istrinya sungguh tak pernah kulupakan. “Aduh Mas, enak banget, lebih asyik dari pada di rumah”, kudengar bisikan istrinya di sela sela sengalan napasnya, mereka berpelukan beberapa saat. Aku masih di belakang si istri sambil mengelus elus kantong bola suaminya, berharap dia segera turun.
Setelah istrinya turun, si suami
menarikku dalam pelukannya, kami kembali berciuman dan bergulingan, dia
mencumbui sekujur tubuhku, menjilati leherku, melumat kedua putingku. Vaginaku yang sudah
basah semakin basah, ingin segera kumasukkan kejantantan itu, tapi
rupanya dia masih ingin mempermainkanku lebih lama, padahal aku yakin
penis tegangnya hanya beberapa mili dari liang kenikmatanku, bahkan
sesekali kurasakan gesekan keras di bibir vaginaku, tapi belum juga
terjadi penetrasi, aku makin tersiksa seperti cacing kepanasan, berulang
kali permintaanku untuk segera melesakkan penisnya hanya ditanggapi
dengan senyuman. Istrinya yang dari tadi hanya melihat suaminya mencumbuiku, mulai
ikutan, dia mengelus elus punggungnya, menciumi pantatnya lalu mengocok
penisnya dengan tangannya, sesekali diusapkan ke vaginaku tanpa
memasukkan. Kupeluk erat tubuh si suami di atasku, ingin rasanya segera
mendapat kocokan di vagina, ciumannya turun hingga mencapai selangkanganku, lidahnya menjelajah seluruh daerah intim kenikmatan yang sudah basah, aku semakin mendesah terbakar birahi. Tiba tiba si istri telentang di sampingku, menarik tubuh suaminya
dari selangkanganku dengan paksa, tentu saja aku kecewa tapi apa dayaku,
aku tak berhak untuk menuntut apa lagi menuntut layanan atas suaminya.
Dengan hati dongkol aku terpaksa tersenyum saat si suami mengecup
bibirku dan berpindah dari tubuhku ke atas tubuh istrinya. Aku masih
telentang terdiam dengan perasaan dongkol, napasku yang mulai menderu
semakin kencang saat melihat pantat si suami mulai turun naik dengan cepat di atas tubuh istrinya, diiringi desahan desahan nikmat mereka berdua. Permainan mereka sungguh menggoda, aku jadi terbawa untuk ingin
ikutan bermain bertiga, berulang kali kugoda mereka untuk mengalihkan
perhatiannya padaku tapi sepertinya si istri selalu menghalangi ketika
suaminya hendak beralih padaku, kecuali hanya sebatas cumbuan dan
rabaan. Sambil mengocok istrinya, tangan si suami menggerayangi tubuhku,
aku hanya mendesah sambil mempermainkan klitoris dengan jariku sendiri,
tak kupedulikan lagi mereka, kini akupun ikutan mendesah dengan caraku
sendiri, dibantu rabaan si suami.
Mereka bercinta dengan liar, berganti ganti posisi, aku selalu
menempatkan diri supaya tubuhku terjangkau dari rabaan si suami,
terkadang secara demonstratif kupermainkan klitorisku di depan si suami.
Namun semua usahaku untuk merengkuh orgasma sia sia belaka, aku memang
tak pernah melakukannya sendiri sampai orgasme dan memang tak inging
karena selalu ada laki laki yang memenuhi hasrat ini, mana bisa
dibandingkan kenikmatan kocokan penis dengan permainan jari di klitoris. Ketika mereka berposisi doggie, aku berdiri di depan suaminya,
kusodorkan vaginaku ke mukanya, dia menyambut dengan jilatan lidahnya di
klitoris tanpa menghentikan kocokannya, kuremas remas rambutnya. Bahkan
ketika aku ikutan nungging di atas tubuh istrinya, dia hanya menciumi
vagina dan pantatku, aku hanya berharap dia memenuhi hasratku segera,
paling tidak dengan kocokan jari jari tangannya sudah cukuplah saat itu,
tapi tidak terjadi.
Entah sudah berapa kali kudengar teriakan orgasme dari si istri, tapi
dia selalu menghalangi setiap kali suaminya berusaha menghentikan
kocokannya dan beralih padaku. Akhirnya aku menyerah pasrah, mungkin
nanti setelah babak ini tiba gilirannya. Kupeluk si suami dari belakang,
yang mengocok istrinya, buah dadaku menempel rapat pada punggungnya
yang berkeringat, terasa hangat, kugesek gesekkan sambil meraba raba
dada dan perut yang agak buncit itu, sesekali kuciumi tengkuknya, dia
menggeliat geli. Tangannya kubimbing ke selangkanganku, namun dia hanya
mengusap usap klitoris dan menggesek bibir vaginaku tanpa berusaha
memasukkannya, bahkan ketika kupaksa memasukkan jari jarinya, dia malah
menariknya, aku semakin hopeless. Mereka bersetubuh dengan liar seakan
melupakan keberadaanku di kamar itu.
Harapanku semakin terbang menjauh saat kudengar teriakan kenikmatan
puncak mereka berdua secara bersamaan. Si suami segera menarik keluar
kejantanannya, membalik tubuh istrinya lalu menjepitkan penis yang masih
basah karena cairan kenikmatan itu di antara kedua buah dadanya.
Kulihat berulang kali si istri menghindar dan menutup rapat bibirnya
saat kepala penis mengenai mulutnya. Si suami melihat ke arahku, seperti
baru sadar aku ada, ditariknya tubuhku lalu ditelentangkan di samping
istrinya, dia beralih menaiku tubuhku dan menjepitkan penisnya ke buah
dada sambil memainkan putingku hingga akhirnya melemas beberapa menit
kemudian, diakhiri dengan kocokan di mulut. Kurasakan aroma sperma yang
kuat menyengat memenuhi rongga mulutku, pasti sudah berampur dengan
cairan istrinya. Dia tersenyum puas, tanpa kata meninggalkanku sendirian
di ranjang, menyusul istrinya ke kamar mandi. Tak lama kemudian
kususul mereka yang sedang mandi, berdua dengan istrinya kami memandikannya.
kususul mereka yang sedang mandi, berdua dengan istrinya kami memandikannya.
Babak selanjutnya ternyata tak lebih baik, sepertinya mereka memang
menyewaku hanya untuk menambah sensasi, perananku sebagai foreplay dan
penutup tanpa aku bisa merasakan permainan yang sebenarnya, seperti
layaknya figuran yang hanya numpang lewat penambah indahnya permainan. Pukul 23:30, setelah membersihkan diri dan mandi, aku pamit pulang,
sebenarnya mereka masih mengharapkanku untuk menginap, melanjutkan
permainannya, namun meskipun statusku dibayar tapi kalau berperan
seperti itu tentu merupakan siksaan yang berat. Dengan alasan aku sudah
ada janjian dengan orang lain, maka mereka tidak bisa menahanku lebih
lama lagi karena memang sebelumnya tidak ada permintaan untuk
menginap.Akhirnya mereka melepaskan kepergianku, mungkin dengan kecewa.
Hingga keluar kamar meninggalkan mereka berdua, aku tidak tahu nama
suami istri tersebut, hal ini bukan pertama kali terjadi, bahkan
terkadang meskipun kami tidur dan bercinta semalaman tak jarang aku
tidak tahu nama orang yang telah meniduri dan menikmati tubuhku.
Akupun langsung naik ke lantai 9, karena memang sudah janjian untuk menemani menginap dengan tamuku yang lain. Dengan tamuku inilah aku berharap bisa menumpahkan segala birahi yang
tertahan sejak tadi, ingin kuberikan servis yang sepenuhnya, bercinta
hingga pagi, nonstop. Pak Beni, nama tamuku berikutnya, ternyata sudah menungguku, terlihat sinar kelelahan di matanya. “Ah akhirnya kamu datang juga, hampir kutinggal tidur”, sambutnya ketika membukakan pintu kamar. “Maaf Pak, habis tadi teman teman ngundang pesta ulang tahun dulu, untung aku bisa ngabur nemuin Bapak”, jawabku berdalih. Mana mungkin aku berterus terang kalau sedang menemani tamu lainnya.
Sudah menjadi watak dasar manusia, meskipun statusku hanyalah gadis
panggilan tapi kalau mendengar aku sedang bersama laki laki lain selalu
timbul rasa cemburunya, ini berdasarkan pengalamanku. Aku langsung mandi, dua kali dalam waktu tidak lebih 10 menit, di
kamar yang berbeda dan dengan orang yang berbeda pula, sekedar
meyakinkan bahwa tidak ada lagi sisa sisa dari tamuku sebelumnya.
Selesai mandi kukenakan piyama yang ada di lemari dan kutemani Pak Beny
yang sedang tiduran di ranjang menungguku. “Bapak capek ya, sini aku pijitin”, aku menawarkan diri. “Pijit beneran ya, kebetulan aku lagi capek dan ngantuk, dari Jember
tadi, jalanan macet lagi”, jawabnya sambil langsung tengkurap.
Sepuluh menit aku memijit kakinya, kudengar dengkur kelelahan dari Pak Beni, rupanya dia sudah tertidur kelelahan, meninggalkanku seorang diri dalam keadaan masih terbakar gairah. Tak tega rasanya membangunkannya, dan tidaklah etis kalau aku memaksa dia untuk melampiaskan nafsuku, maka akupun kembali “menganggur” mendengarkan dengkurannya. “sungguh malam yang sial” pikirku, baru kali ini aku dibooking oleh 2 laki laki dalam semalam tanpa merasakan penis di vaginaku. Dengan susah payah akhirnya akupun tertidur di sampingnya dalam keadaan birahi yang masih menggantung tinggi. Keesokan paginya saat aku terbangun, kulihat Pak Beny sudah rapi bersiap untuk pergi. “Pagi Pak, maaf aku baru bangun, abis Bapak nggak ngebangunin sih”, sapaku lemah. “Sorry, semalam aku tertidur, habis pijitanmu enak sih, dan lagi badanku terasa capek banget”, jawabnya sopan. Kulihat dia meletakkan amplop putih di atas meja. “Aku ada rapat nanti jam 9 ini, kalau kamu pulang titipkan saja kuncinya di receptionist dan ini uang kamu”, lanjutnya.
Pak Beny adalah pelanggan tetapku, setiap kali ke Surabaya dia selalu
mem-booking-ku, biasanya kami bercinta hingga pagi, tapi kali ini lain.
Mungkin karena sudah “akrab” dia tetap membayarku meskipun dia tidak
menerima servis atau menikmati tubuhku, aku jadi nggak enak dibuatnya. “Ah nggak usah Pak, toh kita nggak ngapa ngapain, lagian aku sudah numpang tidur di sini”, aku menolak pembayarannya. “Jangan begitu, kamu toh sudah meluangkan waktumu menemaniku tidur, jadi sudah hak kamu untuk mendapatkannya” “Tapi aku kan tidak berbuat apa apa untuk Bapak”, aku masih bersikeras “Itu salahku dan aku tidak mau kesalahan itu merugikan kamu” Aku terdiam sesaat. “Aku tidak bisa terima pemberian tanpa mengerjakan apa-apa” “Ya udah kalo begitu bersihkan kamar sebelum pergi”, katanya sambil tertawa. “Bapak kan rapat jam 9, sekarang masih jam 8, jadi ada waktu 30 menit kan”, bujukku sambil mendekatinya. Kupeluk tubuhnya yang setinggi telingaku itu, sambil tanganku meremas remas selangkangannya. “Kamu memang pintar ngerayu, maumu apa” tanyanya pura pura “Paling 10 menit aja” jawabku meyakinkan sembari membuka resliting celananya, dia diam saja. “Mana bisa 10 menit, paling tidak 30 menit” “Percaya aku deh, 10 menit tidak lebih, bahkan mungkin kurang”, tantangku sambil mengeluarkan dan mengocok penisnya.
Kuciumi lehernya, aroma parfumnya terasa lembut menyengat,
kukeluarkan kejantanannya, dia mulai mendesis dan menjamah dadaku,
tangannya diselipkan di balik piyama, meremas remas lembut bukit ranum
di dadaku. Aku merosot turun dari pelukannya, berlutut di depannya,
penisnya tepat di depanku, sedetik kemudian kulahap habis dan keluar
masuk ke mulutku. Pak Beny mendesis, meremas remas rambutku dan mulai
menggerakkan pinggulnya mengocok mulutku. Lidah dan bibirku bergerak lincah sepanjang penis yang makin keras
menegang, sesekali kuselingi dengan gigitan ringan menggoda. Aku lalu
duduk di atas meja menghadapnya, piyama sudah melayang dari tubuhku,
kusapukan penis tegangnya, tanpa menunggu lebih lama, dia mendorong
masuk melesakkannya ke vaginaku, terasa sedikit sakit dan perih karena
vaginaku masih kering, hanya air liurku yang ada di batang penis menjadi
pelumas, dengan sedikit usaha akhirnya bisa tertanam semuanya. Terasa
begitu nikmat setelah tersiksa semalaman, seperti biasa, Pak Beny
langsung mengocokku dengan cepat dan keras, permainannya memang
cenderung kasar namun menimbulkan kesan erotis.
Dia meremas remas kedua buah dadaku dengan keras, tiba tiba secara
kasar dicabutnya penis itu, tubuhku dibalik, aku menungging di depannya,
tanganku bersandar pada meja, detik berikutnya dia mulai memompaku dari
belakang, tepat menghadap cermin di atas meja. Aku terdongak merasakan
sodokan demi sodokan, ditariknya rambutku ke belakang, lalu pegangannya
beralih ke buah dadaku dan meremasnya kuat. Aku menjerit antara sakit
dan nikmat, Pak Beny tak mempedulikan jeritanku, semakin kuat dia
membenamkan ke vaginaku, sesekali diiringi tamparan ringan pada
pantatku, terasa agak panas, semakin aku mendesah semakin kuat
tamparannya, kutoleh wajahnya menyeringai menikmati permainan ini,
pantatku sudah agak memerah. Permainan kasarnya membawaku melayang mengarungi lautan kenikmatan,
aku mengimbangi dengan goyangan pantat, meremas remas kejantanannya yang
berada di vaginaku, akhirnya kurasakan tubuhnya menegang, cengkeraman
di buah dadaku makin kuat dan menyemburlah cairan nikmat memenuhi celah
celah kenikmatanku, terasa hangat, seiring dengan denyutan denyutan kuat
menghantam dinding-dinding kewanitaanku. Pak Beny menjerit keras dalam
kenikmatan bercinta saat kuremas remas dengan otot otot vaginaku.
Meskipun aku belum orgasme tapi aku sudah puas melihat tamuku
mendapat kenikmatannya. Segera kucabut penisnya, kuraih dan kugenggam,
ternyata masih cukup keras. Aku mengambil piyama yang tergeletak di
lantai untuk membersihkan penis itu, tapi Pak Beny mendorong tubuhku
turun, mengerti maksudnya, maka kukulum kembali penisnya sambil kusapu-sapukan ke wajahku, bau sperma sangat kuat, lebih tajam dari punya tamuku tadi malam. “8 menit, ternyata kamu memenuhi janjimu, tak lebih dari 10 menit”, katanya saat aku “mencuci” penisnya dengan mulutku. Dia langsung memasukkan kejantanannya kembali ke ’sarang’nya setelah dirasa cukup bersih. “Kuncinya kasih aja ke receptionist kalau kamu pulang nanti”, katanya sambil menutup resluiting celananya. “Nanti siang kalo Bapak masih mau ngelanjutin, HP aja ya”, kataku sebelum dia meninggalkan kamar. Aku tahu bagi dia tentu belum cukup kalau hanya permainan cepat seperti
itu dan aku yakin uang yang dibayarkan adalah untuk tarif menginap
seperti biasanya, meskipun aku belum membuka amplop itu. “Tergantung nanti”, jawabnya seraya menutup pintu kamar.
Sepeninggal Pak Beny, aku kembali rebahan di ranjang, ingin
melanjutkan tidurku yang tidak terlalu nyenyak, kunyalakan HP dan
membaca SMS yang masuk, tidak ada booking-an yang masuk, semua SMS
hanyalah ajakan hura hura nanti malam. Aku kembali terlelap dalam pelukan ranjang hangat nan empuk, tiba
tiba HP-ku berbunyi, agak malas juga menerimanya, ternyata Pak Indra,
salah satu tamu langgananku yang unik. “Haloo, pagi Bapak”, suaraku agak parau. “Pagi Non, baru bangun rupanya ya”, suara dari seberang sana. “Ih Bapak sok tahu deh”, jawabku manja “Dari suaranya emang kelihatan kok, masih parau” “Ah udah lama kok, tapi tidur lagi, abis cuacanya ngajak tidur sih”, aku memberi alasan karena diluar memang mendung. “Ya udah, kalo nggak ada acara kita ketemu yuk, gimana?”, ajaknya “Kapan dan dimana?”, aku mulai antusias mendengarnya. “Gimana kalo sekarang aja, aku lagi ada seminar di hotel xx, giliranku
nanti setelah makan siang, jadi kita bisa ketemu sebelumnya, kalo
sesudahnya nggak bisa, gimana?” Aku terdiam kaget, entah kebetulan macam apa ini, ketiga tamuku berturut
turut berada di hotel yang sama, tinggal naik atau turun lantai. “Haloo, gimana Ly, bisa nggak?” “Pagi ini? Kasih aku satu jam deh, mandi dulu, sarapan dulu, dan pagi gini biasanya kan macet, Bapak di kamar berapa sih?” Dia menyebutkan nomor kamarnya, berarti aku harus naik lagi 2 lantai,
sengaja aku minta waktu lebih lama supaya tidak curiga kalau kami berada
di hotel yang sama.
Kumanfaatkan waktu yang tersisa dengan mandi dan berendam di bathtub,
air hangat serasa melemaskan otot ototku dan meredakan ketegangan yang
ada dalam diriku, begitu relax dan santai. Lebih 30 menit kuhabiskan
dalam nikmatnya pelukan air panas di pagi hari, segera aku berpakaian,
pakaian yang semalam terpaksa kukenakan kembali untuk menemui tamuku
ketiga dengan pakaian yang sama, make up tipis kusapukan ke wajahku dan
tak lupa Issey Miyake menambah semarak aroma tubuhku. Setelah mengemasi
barangku dan memastikan tak ada yang tertinggal, kupanggil Room Boy
untuk menitipkan kunci ke receptionist dengan diselipi selembar 20
ribuan, kulihat dia begitu gembira menerima rejeki di pagi hari.
Kususuri koridor menuju Lift, beruntunglah sepanjang jalan menuju kamar
Pak Indra tak kujumpai orang yang kukenal (hal ini sering terjadi,
terutama di hotel ini yang merupakan favorit tamuku setelah Shangri La).
Pak Indra menyambutku dengan ciuman di pipi, penampilannya masih
seperti biasanya, tenang, lembut, ganteng dan elegant di usianya yang
sudah pertangahan 40 tahun. Dia seorang dokter, katanya sih spesialis
tapi aku tak tahu spesialis di bidang apa. Kumis dicukur rapi dengan
dasi pink menghiasi stelan kemeja yang berwarna sama. “Udah lama nunggu Dok?”, sapaku setelah melepaskan diri dari pelukan dan ciumannya. “Jangan panggil gitu ah, kayak pasien aja, aku baru datang, belum juga duduk kamu udah nongol” Pak Indra adalah salah satu tamu yang terbilang unik, dia lebih suka
mengobrol dan curhat dari pada harus bercinta, entah kenapa, tak jarang
dia memuji muji kecantikan dan kebaikan istrinya, toh meskipun begitu
dia nyeleweng juga, secara garis besar aku jadi tahu kehidupan pribadi
keluarganya, baik itu istri maupun anak anaknya secara mendetail, mulai
namanya, kerjanya, umurnya, bahkan aku juga tahu dimana anak anaknya
sekolah. Dia begitu terbuka padaku, tapi aku tak pernah tahu alasan dia
berselingkuh.
Seperti kebiasaannya, kami duduk berseberangan di sofa, seperti orang
yang lagi bicara bisnis, tak ada pembicaraan yang menjurus ke sex
ataupun porno, semua hanyalah masalah ringan tentang politik, film, TV,
musik dan untunglah aku yang sering nonton TV maupun baca majalah bisa
meladeni pembicaraannya, jadi nggak timpang. Cangkir Chinese Tea dan
snack yang ada di meja di depan kami sudah habis, mungkin sudah lebih
setengah jam kami ngobrol tapi tak ada tanda tanda untuk mulai permainan
panas, aku sudah mahfum akan kebiasaannya, jadi tak perlu buru buru. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10:47 ketika dia menggandengku ke
ranjang, kami saling melepas pakaian, menyisakan celana dalam dan bra
hitam berenda putih, kontras dengan kulitku yang putih mulus, dia
memandangiku sejenak. “Kamu makin cantik dan sexy”, komentarnya.
Dengan sopan Pak Indra merebahkan tubuhku di atas ranjang. Bibir lembutnya menyapu kening, pipi dan bibirku, aku terpejam menikmati sentuhan lembutnya menyusuri wajahku. Sapuannya perlahan menjelajah turun, leher dan dada adalah favoritnya, masih dengan lembut dia mengeluarkan kedua bukitku dari ’sarang’nya. Lidahnya langsung mendarat di puncak bukitku dan menari nari mempermainkan puting yang merah kecoklatan, aku mendesah merasakan kenikmatan yang mulai menjalar ke sekujur tubuhku. Tangan Pak Indra berpindah dari remasan di dada ke selangkangan, diselipkannya di antara celana dalamku, dia menggesek-gesekkan jarinya di bibir liang kenikmatan, masih kering. Bibirnya bergerak turun ke perut dan berhenti di antara kedua kakiku, dengan kedua giginya dia melepas celana dalam yang menghalangi gerakannya.
Aku menjerit tertahan saat lidahnya mulai menyentuh klitorisku, ada
kekhawatiran kalau dia, seorang dokter, masih bisa mendeteksi sisa sisa
sperma yang ada di rongga kewanitaanku, meskipun aku sudah berusaha
untuk membersihkannya sejauh mungkin. Kecemasanku perlahan hilang saat
bibirnya mulai mempermainkan bibir vaginaku, dengan gerakan yang kurasa
indah disusurinya celah celah kewanitaan di selangkanganku, sungguh
terasa kenikmatan yang berbeda dari jilatan lainnya, aku semakin
mendesah nikmat sambil meremas remas kedua buah dadaku, sesekali kujepit
kepalanya dengan pahaku dan meremas remas rambutnya. Pak Indra hanya tersenyum melihat kenakalanku tapi dia terus
melanjutkan permainan lidah dan mulutnya.
Puas bermain di selangkangan,
ciumannya kembali naik ke perut, dada dan untuk kesekian kalinya kami
saling melumat dan bermain bibir, lidah beradu lidah. Pak Indra membalik tubuhku,
dijilatinya telinga, tengkuk dan sekujur punggungku hingga ke pantat,
aku menggelinjang geli apalagi tangannya tak henti mempermainkan vagina
dan klitoris. Memang kegemaran dan keahlian Pak Indra adalah melumat
seluruh tubuh pasangannya, mungkin ini adalah kompensasi atas kelemahan yang dia miliki. Entah berapa kali vaginaku mendapat sedotan
dan kuluman nikmat darinya. Kami berpelukan mesra dan bergulingan,
giliranku untuk memuaskannya, ciumanku turun ke lehar dan dada, kukulum
dengan gigitan ringan di putingnya, Pak Indra menggelinjang, lidahku menyusuri perutnya
yang rata seolah tanpa lemak. Akhirnya kulepas celana dalamnya,
tampaklah kejantanan yang masih tergolek lemas, inilah ke-unikan dari
Pak Indra, dia menderita impotensi ringan (menurutnya sih), laki laki normal pasti
sudah tegang setelah cumbuan cumbuan seperti itu, tapi ini kasus lain,
karena aku sudah berulang kali melayani dia, akupun sudah mempersiapkan
mental untuk itu.
Kugenggam penisnya yang lemas, ingin ketawa rasanya melihat penis
yang begitu tidak berdaya, padahal masih relative muda, tapi tentu saja
kusimpan rasa itu beralih ke rasa kasihan. Kuciumi dengan penuh kasih
sayang pada penis yang tidak pernah memberiku kepuasan itu, seperti
menciumi mainan anak anak, tak ada sama sekali kesan kalau penis itu
merupakan alat kejantanan dan kebanggaan laki laki. Begitu bersih dan
kemerahan seperti penis anak anak, mungkin karena tidak pernah dipakai,
karena itu tanpa ragu dan ada perasaan jijik kujilati dan kumasukkan
dalam mulutku, semua bisa kulahap masuk, hidungku menyentuh rambut
kemaluannya. Pak Indra mulai mendesis saat kupermainkan lidahku pada
penisnya yang masih berada di mulutku, ingin kugigit karena gemas.
Beberapa menit penis itu mulai sedikit menegang, tapi masih jauh dari
memenuhi syarat untuk bisa penetrasi, kombinasi kuluman dan kocokan
tangan disertai elusan lembut di kantong bola membuatnya mekin mendesah
desah dalam irama kulumanku. “Kita coba Ly”, katanya, seperti kebiasaannya. Aku telentang di sampingnya, kubuka kakiku lebar lebar, dia mengambil
posisi di atas seperti layaknya laki laki siap bersetubuh, kubantu
menggesekkan penisnya ke vaginaku, belum berhasil, beberapa kali kucoba
tetap saja masih kurang perkasa menembus liang kenikmatanku, malahan
semakin melemas. Terpaksa kuambil inisiatif lain, kuminta dia telentang,
kukulum dan kupermainkan sejenak seperti tadi, sedikit menegang, segera
kunaiki tubuhnya dan kuusapkan ke bibir vaginaku, namun kembali tidak
membuahkan hasil.
Setelah beberapa kali usaha dengan bermacam cara akhirnya kami
menyerah, terpancar sinar kekecewaan di wajahnya meskipun senyuman
menghiasi wajahnya. Aku merasa gagal untuk memuaskannya, meskipun hal
itu terjadi setiap kali kami bertemu, terkadang hanya sekali penetrasi
tapi begitu ditarik tidak bisa masuk lagi, namun kali ini gagal total.
Akhirnya kuputuskan memuaskannya dengan cara lain seperti yang biasa
kulakukan pada Pak Indra. Aku berlutut di antara kakinya, dia hanya
telentang menunggu permainanku. Menit pertama hanya kuciumi seluruh
batangnya, menit selanjutnya jilatanku merambah ke daerah kantong bola,
menit selanjutnya penis lemas itu sudah keluar masuk mulutku diiringi
permainan lidah dalam rongga mulut. Pak Indra mendesah kenikmatan dengan
caranya sendiri, basah seluruh selangkangannya karena ludahku yang
bercecer di daerah itu, kombinasi antara jilatan, kuluman dan kocokan
cukup membuatnya terbuai dalam gelombang kenikmatan yang kuberikan.
Kami berubah posisi 69, dengan posisi ini kami bisa saling memberikan
kenikmatan, harus kuakui kepiawaiannya bermain oral ikutan membawaku
melayang, meskipun sangat jarang aku bisa orgasme hanya dengan oral,
tapi saat ini kenikmatan seperti itu sudah cukup bagiku, dari pada tidak
sama sekali. Tak lama kemudian kudengar teriakan keras disusul sedotan
kuat pada vaginaku, sedetik kemudian kurasakan sperma meleleh pelan
keluar dari kejantanannya, segera kumasukkan penisnya ke dalam mulutku
dan kurasakan spermanya yang asin gurih membasahi lidahku, aromanya
masih keras kurasa. Dan penis yang lemas itupun semakin melemas dalam
mulutku. “Uff, kamu memang pintar membuat orang puas”, komentarnya setelah aku turun dari tubuhnya. Kusapukan penis lemas itu ke wajahku. “Ah, Bapak juga pintar mempermainkan orang kok”, pujiku jujur. Pukul 11:30 aku sudah keluar dari kamar Pak Indra setelah mandi
membersihkan tubuhku dari sisa sisa ludahnya. Meskipun tujuan kami sama
sama ke lobby tapi demi keamanan kami harus jalan sendiri sendiri seolah
tidak saling mengenal. Sesampai di Lobby kucoba menghubungi HP Pak
Benny, tapi tidak aktif, aku belum mendapat keputusan apakah dia akan
melanjutkan atau tidak siang ini.
Beberapa saat kemudian kulihat Pak Indra sudah di lobby diiringi
beberapa rekannya menuju ruang seminar, aku yakin mereka adalah sesame
dokter. Pak Indra terlihat begitu anggun dan berwibawa dengan setelan
jasnya, pasti tak seorangpun menyangka kalau dia menderita secara psikis
sejak terjadinya kecelakaan lalu lintas yang membuatnya impotent, dia
hanya melirikku penuh arti ketika kami bertemu pandang, senyumnya hanya
bisa diartikan antara aku dan dia. Kutunggu Pak Benny yang belum juga ada kepastian. Setelah 20 menit
tak ada juga kepastian dari Pak Benny, kutinggalkan hotel itu menuju
hotel lain yang sudah menunggu kedatanganku dengan tipe dan bentuk
permainan yang berbeda.